Menjadi Kaya dengan Repetisi

Anak kecil di Inggris itu pintar-pintar. Seumuran SD bahkan TK sudah lancar Bahasa Inggris. 

 

Sampai detik ini ada kalanya saya sering berpikir, dunia ini heterogen sekali dalam masalah kesuksesan hidup. Ada yang hidup ekstra sukses, ada yang biasa saja, ada yang gagal total. Meskipun kesuksesan bisa dilihat dari banyak sudut, tanpa berkesan matre, mari samakan persepsi. Tulisan ini berfokus pada kesuksesan finansial. Kenapa seperti itu sebab biasanya kesuksesan finansial adalah dampak dari kesuksesan-kesuksesan lain seperti kesuksesan karir dan kesuksesan bisnis. Namun tentu saja ada juga yang finansial mentereng tapi ternyata didapat dari hasil korupsi. Mari kita coret contoh seperti itu dan kita doakan tikus-tikus semacam itu agar hangus di neraka.

Kembali ke topik posting, saya benar-benar sering berpikir kenapa ada variasi keberhasilan hidup seperti tadi. Tentu saya sangat sadar, dunia tidak akan indah jika semua sama rata. Jika semua kaya atau jika semua miskin. Jika semua cantik dan ganteng definisi cantik dan ganteng tidak akan ada lagi. Dunia memang secara otomatis menyeimbangkan diri. Memang tidak ada cara yang baik dan mudah untuk merubah yang tidak cantik menjadi cantik. Namun ada banyak cara yang nyata untuk berubah dari orang biasa menjadi orang luar biasa atau bahkan dari orang gagal menjadi 180 derajat sukses. Salah satu cara yang akan dibahas adalah repetisi atau pengulangan.

Tanpa bermaksud mendiskriminasi, saya ingin mengangkat sebuah pertanyaan, mengapa penghasilan supir angkot berbeda jauh dengan CEO sebuah perusahaan besar? Salah satu jawaban adalah sebab kedua pekerjaan tersebut mempunyai tingkat kesulitan, kebutuhan keahlian dan tanggung jawab yang berbeda. Supir angkot akan tetap menjadi supir angkot baik setelah 5, 10 atau 20 tahun, kecuali ada fase tertentu ketika si supir angkot tadi ingin berubah, misalnya berganti pekerjaan. Namun jika tidak maka hari ke hari hanya menyupir dan menyupir yang akan dia lakukan. Berbeda dengan CEO perusahaan besar. Pada awalnya dipastikan si CEO akan merangkak dari bawah. Namun dengan repetisi, penambahan pengalaman, perlahan orang ini akan naik ke posisi yang lebih tinggi. Menerima tanggung jawab baru, memecahkan tantangan sehingga akhirnya bisa tiba di posisi yang cukup tinggi. Dalam proses ini ada satu hal yang benar-benar harus diingat, repetisi, pengulangan. Seperti pisau dengan pengulangan manusia akan terasah menjadi lebih tajam. Ketika satu waktu gagal menghadapi sesuatu, kita harus melakukan evaluasi. Lalu mengulang kembali hingga bisa berhasil mencapai apa yang harus dicapai. Keahlian akan semakin tajam dengan terus melakukan pengulangan. Ini juga yang menjadi alasan bahwa pada kebanyakan pekerjaan, salah satu elemen penentu gaji adalah pengalaman kerja. Dengan pengalaman kerja yang lebih lama, diasumsikan orang telah memiliki keahlian yang lebih tajam karena keahlian tersebut telah ‘diulang’ banyak.

Lalu apa kaitan isi tulisan ini dengan petikan pertama di atas? Di usia saya yang hampir 25 tahun saya masih gelagapan jika harus berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Padahal banyak rekan-rekan saya yang sangat fasih sekali berbicara Bahasa Inggris. Apa yang membedakan saya dan mereka? Salah satunya adalah tingkat pengulangan. Orang yang lebih fasih berbicara bahasa inggris pasti sudah lebih banyak berlatih dan mengulang-ngulang keahlian tersebut. Jadi logikanya jika mereka bisa, kita pun pasti bisa. Aturan ini juga berlaku untuk keahlian apa pun. Berbicara di depan umum, menulis, bisnis, dan sebagainya.

Sekarang seharusnya semakin nyata kenapa lebih banyak orang gagal dibandingkan orang sukses. Jawabannya tidak semua orang cukup kuat untuk pantang menyerah terus mengulang bangkit kembali ketika terjadi kegagalan. Pengusaha yang sukses biasanya telah jatuh berkali-kali terlebih dahulu. Dari tiap kejatuhannya si pengusaha bisa belajar sesuatu. Dari renungan ini juga saya akhirnya bisa sadar mengapa kehidupan saya cenderung stagnan. Saya tidak terlalu kuat untuk mau kukuh berlatih dan mengulang sesuatu. Sejak dulu saya ingin menjadi programmer handal. Menguasai Java luar dalam. Mempelajari Platform Android, belajar Python, mendalami JavaScript. Namun jangankan berepetisi untuk menjadi mahir, memulai saja tidak. Semoga post ini bisa menjadi renungan yang berharga untuk diri saya sendiri.

Jika Cinta Sebatas Leher

“Cinta itu cuma sampe sini…” (Kata sahabat saya Sambil menunjuk leher). “Turun kebawah…” (tangannya berpindah menunjuk perut) “dah urusan lapar”.

Quotenya sangat menarik didiskusikan. Saya mengatakan menarik di sini bukan berarti menyatakan setuju dengan statementnya. Namun bukan pula tidak setuju secara mutlak. Secara sekilas petikan tadi dapat dianggap meremehkan masalah cinta. Para pujangga-pujangga cinta di luar sana pasti sudah mulai geram sedetik setelah membaca dan atau mendengar pernyataan tersebut. Namun sebelum panas mari kita runut dulu pernyataan itu.

Meski mungkin bisa bermakna banyak dalam konteks post ini cinta yang dimaksud adalah spesifik cinta pada lawan jenis, misalnya suami istri. Jadi cinta pada anak, pada orang tua ada di luar curhat post ini. Cinta adalah sesuatu yang abstrak. Belum ada piranti ukur apa pun yang dapat mengukur cinta. Mungkin ilmuan di luar sana sudah menemukan alat untuk menimbang bobot atom terkecil, dapat menghitung jarak ke bintang terjauh dapat tahu tingkat tekanan air di palung laut terdalam namun bicara untuk mengukur cinta belum ada ilmuan manapun yang sudah menemukan sesuatu yang progresif. Jika seandainya cinta dapat diukur dengan mudah tentunya akan banyak masalah yang dapat diselesaikan. Tidak perlu lagi ada ketakutan perselingkuhan sebab kita tahu benar tingkat cinta dari pasangan kita. Tidak perlu lagi takut dimatrei karena meter cinta akan langsung membaca seseorang yang memiliki cinta palsu.

Cinta pada dasarnya sesuatu yang sangat baik. Ia penuh keindahan, ia menyejukan. Cinta bisa merubah orang paling jorok menjadi orang yang bersih dan wangi. Merubah pemalas menjadi pembelajar. Merubah si garang menjadi si lembut dan halus. Namun dasar yang baik tersebut akan menjadi terselewengkan jika ada motivasi-motivasi tidak baik di sana. Pertama jika cinta berubah menjadi nafsu, kedua ketidaktulusan, ketiga ketidakjujuran, keempat hanya ingin memanfaatkan dan kelima cinta yang terlalu sehingga menjadi obsesif dan posesif.

Untuk menjaga dasar yang baik agar tetap baik sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Langkah pertama adalah respek. Hargailah dan hormati orang yang kita cintai. Kita hargai dan hormati pendapatnya, kata hatinya, keinginannya dan sebagainya. Dengan dasar tersebut tidak akan pernah ada masalah yang terpendam tak tersampaikan. Semua pasti akan selalu mengalir keluar karena komunikasi berjalan lancar. Langkah kedua adalah tulus dan jujur. Jika 2 hal ini hilang maka yang akan muncul adalah perselingkuhan dan matrialisme. Langkah ketiga memaafkan dan meminta maaf. Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Hanya orang berani yang sanggup meminta maaf. Dan hanya orang paling bijak yang mampu memberi maaf dengan benar-benar tulus. Percayalah dalam hubungan apa pun jika hal ini bisa dicapai akan didapat keuntungan yang sangat luar biasa. Keempat, saling mengingatkan untuk kebaikan. Cinta pada dasarnya hal yang baik, oleh karena itu disesuaikan pula untuk melakukan hal yang baik dan benar.

Kembali ke masalah cinta itu hanya sampai leher turun ke perut tinggal lapar. Hal yang ditekankan dalam kalimat ini adalah cinta itu sesuatu yang penting dan tidak dangkal. Namun banyak orang terjebak berlebihan di sini. Sikap egois, posesif, tidak jujur, mementingkan nafsu dan seterusnya adalah salah satu manifestasi keberlebihan itu sehingga mendangkalkan makna cinta itu sendiri. Pada akhirnya kata cinta dideskripsikan bahwa dengan kalimat tadi. Untuk menghindari pendangkalan itu poinnya adalah respek, tulus dan jujur, memaafkan dan meminta maaf dan terakhir saling mengingatkan untuk kebaikan. Semoga cinta kita tak hanya sampai leher saja.

Alfamart vs. Indomaret

Sudah sejak lama ingin menulis topik ini. Baru sempat sekarang. Semoga cukup layak dibaca.

Mini market menyerbu! Sekitar 4 tahun terakhir fenomena ini menjadi perhatian yang menarik. Rak-rak yang tersusun rapi, variasi produk yang sangat banyak, pembayaran yang praktis dengan sistem kasir, ruangan ber-AC, tidak pengap, harga yang sangat kompetitif adalah beberapa hal yang menggambarkan keberadaan mini market. Sehingga, tidaklah mengherankan orang-orang langsung jatuh cinta pada mode toko ini. Pada bagian lain, para pedagang kelontong konvesional pun harus menghadapi pil pahit realita ini.

Ada konsumen ada produsen. Saya tidak terlalu tahu sejarah detail proses merebaknya mini market di Indonesia. Tapi saat orang bertanya apa itu Alfamart dan apa itu indomaret, saya yakin hampir seluruh orang Indonesia akan tahu. Dua label tersebut adalah pemain yang cukup intens dalam persaingan mini market. Untuk menjangkau banyak wilayah sistem waralaba dikelurkan oleh dua ritel ini. Bagi investor tentunya ini adalah peluang investasi yang sangat menggiurkan. Jaminan stok barang dan nama yang sudah mapan membuat investor tidak terlalu memikirkan investasi awal yang diperlukan dan skema royalti fee yang harus dibayarkan pada pemilik waralaba. Maka dari itu tkota hingga kampung paling terpencil.

Konsumen tentunya sangat diuntungkan dengan keberadaan mini market dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki seperti yang telah disebutkan di atas. Namun di sisi lain, keberadaan mini market pun secara perlahan tapi pasti bisa menggilas keberadaan pedagang konvensional. Inilah rimba manusia, who the fittest that will survive.

Ok, itu intermezo. Fokus ketertarikan saya mengenai fenomena minimarket ini adalah seperti judul post ini. Alfamart vs Indomaret. Sebenarnya, selain dua nama ini ada juga pemain-pemain lain yang bermain di usaha mini market, Namun untuk saat ini dua nama tadi lah yang cenderung mendominasi.

Konfrontasi (jika boleh dikatakan begitu) dua ritel mini market ini jika dilihat membuat geli dan agak tidak masuk akal. Saat satu waktu dibuka ritel indomaret baru, selang 1 atau 2 bulan dalam jarak yang tidak berjauhan, bahkan terkadang bersebrangan dan bersebelahan dibuka alfamart baru. Sama juga di saat ada dibuka alfamart baru tak akan lama indomaret pun berdiri tidak lama kemudian.

Dengan bisang usaha yang persis sama, pelayanan adalah hal yang harus benar-benar ditonjolakan dalam menjaga loyalitas pelanggan. Dari pengalaman pribadi saya terhadap dua minimarket ini, khususnya di lingkungan tempat tinggal saya, saya menarik kesimpulan-kesimpulan berikut.

Pertama, ketersediaan produk antara dua mini market ini cukup imbang. Sama-sama memiliki variasi produk yang banyak dan beragam. Demeikian juga mengenai tata ruang, tidak banyak berbeda. Servis dan pelayanan? Inilah dimana perbedaan terjadi. Indomaret sangat mengecewakan. Tapi itulah yang saya rasakan. Servis pelayannya sangat mengecewakan. Tak jarang ketika butuh bantuan tidak mendapat tanggapan yang memadai. Yang paling menyebalkan adalah kasirnya yang sangat tidak ramah.

Sebaliknya terjadi pengalaman yang berbeda di Alfamart. Servisnya sangat bagus. Setipa menanyakan sesuatu langsung ditanggapi dengan baik. Kasirnya sangat ramah, muda-muda dan yang terpenting… cantik-cantik. Apalagi cukup banyak karyawti berjilbab yang bekerja di mini market ini. Cukup menyejukan hati.

Maka dari itu, sudah sejak lama saya menjadi pelanggan setia alfamart dan hampir tidak pernah ke mini market pesaingnya tadi.

Ini hanya opini yang disimpulkan dari riset dalam lingkup terbatas. Jadi jangan dijadikan generalisasi, namun semoga juga bisa menjadi masukan bagi pihak-pihak pengambil keputusan di dua ritel itu.