Brussels Kota Waffle dan Patung Pipis

Belgia mungkin tidak menjadi tujuan utama orang jalan-jalan saat ke Eropa. Tujuan awal saya ke Brussels, ibukota Belgia pun sebenarnya adalah untuk menghadiri Fosdem, salah satu forum berkumpulnya developer open source di Eropa. Jika tak ada Fosdem mungkin kami tidak akan ke Brussels. Tapi pada akhirnya Brussels tetap menjadi kota yang menarik untuk di jelajahi.

Brussels atau Bruxelles dalam ejaan Prancis, adalah kota yang sangat multikultur. Seperti banyak metropolitan Eropa barat pada umumnya seperti Paris dan Amsterdam, banyak sekali pendatang di Brussels. Saat pertama kali keluar di stasiun Bruxelles-Midi akan sangat mudah melihat wanita berkerudung yang berlalu lalang sebagai indikasi banyaknya muslim di sini. Makanan halal pun cukup mudah untuk dicari. Berbagai macam bangsa dengan beragam warna kulit dan bahasa berkumpul di sini. Kami menemukan sebuah paradoks menarik berkaitan dengan multikulturalisme dan makanan di sini. Ada sebuah restoran asia di Brussels, halal, chefnya orang China, menu makanannya dalam bahasa Prancis. Selain itu, Brussels pun sering dianggap ibukota uni eropa karena banyaknya institusi uni eropa yang berkantor pusat di sini.

Le Lombard adalah publisher komik Tintin

Kedatangan saya ke Brusselsnya pun membangkitkan beberapa fragment memori masa kecil. Dulu saya suka membaca beberapa komik Eropa. Ternyata sebagian dari yang pernah saya baca adalah karya komikus Belgia. Yang pertama adalah Tintin karya Georges Remi alias Herge yang pasti sebagian besar orang tahu. Kemudian The Smurf karya Pierro Culliford yang juga cukup terkenal. Lalu ada Agent 212 kisah tentang polisi gendut dengan segara kekonyolan-kekonyolannya karya Raoul Cauvin dan Daniel Cox. Kemudian Bobo yang diterjemahkan menjadi Si Bob Napi Badung di terbitan Indonesia. Kisah tentang napi yang berusaha melarikan diri dari penjara Inzepocket. Lalu saya juga pernah membeli komik bekas Gaston karya Andre Franquin yang berkisah tentang kisah kekonyolan Gaston.

Kembali ke cerita perjalanan, saya dan istri saya Indri berangkat ke Brussels dari Erfurt, Jerman. Kami mendapatkan tiket cukup murah, hanya 36 Euro per orang setelah Indri mencari di Bahn Ltur. Dari Erfurt kami pindah kereta satu kali di Frankfurt Flughafen, stasion di bandara Frankfurt lalu lanjut ke kereta yang menghantarkan hingga ke stasiun Bruxelles Midi.

Sampai Brussels berhubung kami tidak berlangganan data roaming, kami mengandalkan snapshot google maps yang sudah kami simpan sebelumnya untuk berjalan menuju ke hotel. Berhubung belum membeli tiket publik transport kami pun memutuskan berjalan kaki sekaligus mengeksplorasi kota. Kami menginap di Scandinavia Hotel yang kami pesan melalui booking.com.

Resto Halal Asia

Malam hari kami keluar untuk makan malam. Kami jalan kaki menuju restoran asia yang kami sebut sebagai paradoks di atas. Nama restonya Shinwi. Seperti sebagian besar kota di Eropa, makan di restoran adalah sangat mahal. Rata-rata biaya perorang untuk makan standard minimal adalah 10 Euro.

Setelah makan kami berjalan ke arah stasiun metro. Kami pun membeli tiket 24 jam yang bisa digunakan di semua jenis public transport di Brussels. Harga tiket 24 jam tersebut adalah 7 Euro (6.5 Euro sebelum 1 Februari). Tiket ini bisa dibeli di mesin otomatis yang tersebar di stasiun metro, stop tram dan stop bus. Sebenarnya ada juga tiket 48 dan 72 jam namun nampaknya 2 jenis tersebut harus dibeli langsung di konter di stasiun. Tiket 24 jam bentuknya adalah kertas magnet. Kita harus memvalidasi pertama kali dengan memasukan ke mesin oranye di pintu menuju platform metro atau di dalam tram dan bus. Validasi pertama akan mencetak tanggal berlaku awal hingga akhir tiket 24 jam tersebut.

Tiket 24 Jam Brussels

Hari kedua di Brussels saya mendatangi Fosdem yang bertempat di l’Université libre de Bruxelles (ULB). Dari hotel kami naik metro kemudian menyambung tram. Satu hal yang saya kagumi dari Brussels adalah sistem transportasi publiknya yang amat sangat komprehensif. Ada tram, metro dan bus. Memang terkadang metro dan tramnya agak kotor dan menyeramkan untuk standard saya yang tinggal di Singapura. Banyak coretan di mana-mana, di pintu masuk stasiun terkadang bau pesing dan bahkan di stasiun metro sendiri banyak gelandangan yang tinggal. Namun ketepatan waktu dari sistem transportnya adalah sangat akurat. Informasi arah di stasiun dan stop berikutnya saat di dalam kendaraan pun sangat lengkap sekali. Selain transportasi di atas, Brussels pun baru-baru ini meluncurkan sistem sewa murah sepeda yang bernama Villo. Di seputaran Brussels akan ada banyak drop point sepeda kuning Villo yang diatur secara elektronik. Sepeda akan terkunci ke dudukan magnet. Bila ada yang ingin menyewa bisa datang ke mesin sewa kemudian memiih jangka waktu sewa. Setelah pembayaran kunci magnet sepeda akan terlepas dan sepeda bisa dipakai. Sepeda bisa dikembalikan di drop point yang lainnya. Sayangnya kami tidak sempat mencoba mode transport ini.

Villo Drop Point

Kembali lagi ke cerita perjalanan, saya di Fosdem hingga sekitar puku 3 sore karena kami tiba-tiba lapar dan ingin mencari makan. Kami naik bus dari ULB dan tiba-tiba Indri mengajak turun di satu stop. Saya lupa stopnya di mana. Kami keluar kemudian berfoto-foto dan menemukan konter fastfood halal, Hector Chicken. Kami memesan satu menu untuk berdua chicken wings dan kentang goreng seharga 6.5 Euro. Bahasa resmi Belgia adalah Prancis. Sehingga kebanyakan orang akan berkomunikasi dengan bahasa itu. Namun sebagian besar orang juga bisa berbahasa Inggris.

Palais de Justice yang sedang direnovasi

Setelah makan kami naik metro untuk menuju Palais de Justice. Sayangnya gedung tersebut sedang di renovasi sehingga kami hanya berfoto-foto di depannya. Pemandangan di sana sangat bagus karena di depannya bisa melihat sebagian Brussels dari atas. Dari sana kami berjalan menuju Manneken Piss. Hingga saat ini kami masih heran bagaimana mungkin landmark sesederhana Manneken Piss bisa sangat terkenal di Belgia. Manneken Piss hanyalah patung anak kecil yang sedang kencing. Namun sesampai di sana tempat ini sangat ramai dikerumuni banyak turis yang ingin berfoto, termasuk kami juga. Di dekat Manneken Piss ada juga Waffel, salah satu makanan khas Belgia yang sangat enak sekali dengan harga hanya 1 Euro.

Legendary Manneken Piss

Waffle!!!

Setelah dari patung anak kecil pipis kami berjalan menuju Grand Place-Grote Markt yang masih berada di area yang sama. Grand Place ini adalah “alun-alun” utama di Brussels. Lokasi ini dikelilingi oleh beberapa gedung yang cukup bagus. Kunjungan ke Grand Place alis Grote Markt itu mengakhiri hari kami kedua di Brussels.

Hari ketiga di Brussels diawali dengan kembali ke Grand Place lagi. Sebab sehari sebelumnya kami berfoto-foto sesudah gelap. Di musim dingin matahari baru terbit sekitar jam 8 dan sudah terbenam sekitar jam 5. Setelah berfoto-foto kami meluncur ke Atomium. Salah satu landscape lain yang terkenal di Brussels. Atomium adalah menara berbentuk seperti struktur atom yang awalnya dibuat untuk world expo tahun 1958. Namun justru keberadaan menara itu bertahan hingga sekarang. Dari atomium kita bisa melihat sekeliling Brussels, lalu ada juga restoran di puncak menaranya. Di bagian lain menara ada beberapa tempat pameran. Kami cukup berpuas hanya berfoto-foto di luar menara meski harga masuk menaranya sebenarnya harnya 11 Euro saja.

Atomium dari bawah

Dari Atomium kami kembali ke pusat kota naik tram. Makan siang sekaligus malam, lalu kembali ke hotel mengambil tas carrier besar dan menuju stasiun Bruxelles Midi lagi untuk naik kereta ke Amsterdam, tujuan berikut kami. Kami membeli tiket sehaga 29.5 Euro perorang di snbc. Setelah sekitar 3 jam dan setelah transit di Rotterdam kami pun tiba di Amsterdam.