Note:18 Desember 2007
Tulisan ini adalah tulisan yang saya masukan untuk LOmba Essai Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.
Tanggal 12 Desember lalu diumumkan pemenang lomba setelah dilakukan penilaian oleh dewan Juri yang terdiri dari Helvy Tiana Rosa dan Muhammad Ivan Azhari. Percaya atau tidak, ternyata tulisan ini menjadi juara 1 dari 17 partisipan. Apa Mbak Helvi dan Mas Ivan lagi bingung ya? Kok tulisan jelek bisa menang.
🙂
Mudah-mudahan hal tersebut bisa menjadi cambuk bagi saya untuk terus produktif berkarya.
Oh ya, piala lomba yang saya terima ternyata patah dalam perjalanan pulang. Mungkin Tergoncang-goncang di bagasi motor saat dalam perjalanan.
Holistikasi Pendidikan Indonesia di Masa Depan
Oleh: Jon Kartago Lamida
Prolog
Dia adalah Forrest Gump. Seorang anak lelaki yang tidak terlalu pintar dan agak terbelakang. IQ Forrest tidak sampai 100. Pada awalnya bisa saja orang berpikir kelak Forrest hanya akan menjadi orang idiot yang tidak punya masa depan. Tapi kenyataannya kemudian ternyata berbeda.
Forrest memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibu yang membela saat Forrest dilecehkan. Ibu yang selalu menemaninya menjelang tidur dengan membacakan buku cerita. Ibu yang mengantarkan menemani anaknya menunggu bus sekolah. Ibu yang menolak dengan tegas saat Forrest harus dipindahkan ke sekolah khusus karena dianggap idiot. Ibu yang tak pernah bosan mendukung dan mendorong. Ibu yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.
Masa depan Forrest pun ternyata tidak berjalan sesuai dengan apa yang ditakutkan. Forrest bisa bisa lulus kuliah, mengikuti dinas militer dan mempunyai bisnis penangkapan udang. Meskipun kisah itu hanya cerita film yang diangkat dari novel berjudul sama, Forrest Gump, ada sebuah pesan kuat yang bisa diambil. Pentingnya pendidikan holistik bagi setiap manusia.
Tidak ada yang meragukan urgensi pendidikan bagi dalam membentuk manusia berkualitas. Manusia yang dengan kualitasnya tersebut mampu menyumbangkan pemikiran untuk lingkungan sekitar dan meningkatkan kesejahteraan diri dan lingkungannya. Manusia yang dengan kualitasnya mampu menjadi sumber daya manusia yang bisa mengembangkan kehidupan, mempelajari sains dan teknologi, mendalami kebudayaan sebagai tuntutan, kebutuhan dan upaya untuk meningkatkan martabat bangsa dan juga menjadi anggota masyarakat yang baik. Manusia yang mampu memanusiakan dirinya sendiri.
Meski berkesan sangat berorientasi ekonomi, peningkatan kesejahteraan dalam upaya meningkatkan martabat bangsa tadi adalah tujuan dasar yang sangat bisa dicapai dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak kurang, lebih dari 30 tahun lalu E.F Schumacher seorang pakar ekonomi kerakyatan Inggris menyatakan bahwa sumber daya terbesar tidak lain adalah pendidikan.[1] Belum lama juga, Gary S. Becker salah seorang pemenang nobel ekonomi menekankan bahwa masa sekarang ini adalah The Age of Human Capital[2]. Sekarang adalah masa manusia sebagai sumber daya, manusialah sumber daya terbesar. Sumber daya yang baik bisa dicapai hanya jika dipupuk dengan pendidikan yang baik. Pendidikan yang tidak sekedar mengembangkan kepintaran tapi juga karakter. Pendidikan holistik yang memanusiakan manusia.
Penyakit Pendidikan di Indonesia saat ini
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia seperti melihat dagelan alias lawak. Seperti lawak, skenario jalannya pendidikan seperti berjalan tanpa ada arahan jelas. Semuanya bebas berimprovisasi dengan banyolan-banyolan slapstik. Pemeo yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah “ganti menteri ganti kebijakan”. Kurikulum pun sering berubah-rubah, buku pelajaran sekolah juga ikut berubah-ubah, label nama tingkat pendidikan tidak bosan berganti-ganti, namun tetap kondisi pendidikan belum banyak bergerak menuju posisi yang lebih baik. Pendidikan di Indonesia sedang sakit. Penyakit jika tidak diobati akan menjadi parah. Jika sudah parah bukan hal yang tak mungkin pendidikan pun akan meninggal.
Dalam mengidentifikasi gejala penyakit pendidikan di Indonesia, penulis mengutip 8 masalah pendidikan yang pernah disampaikan oleh HAR Tilaar.[3] Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.
Kebijakan pendidikan adalah hal yang sangat kompleks. Kebijakan pendidikan melibatkan pemerintah sebagai regulator dan penelur kebijakan, masyarakat sebagai subjek pendidikan dan lembaga pendidikan sebagai institusi penyelenggara. Regulator yang diinginkan masyarakat adalah regulator yang bisa mengeluarkan kebijakan yang membela kualitas pemdidikan dan hak masyarakat untuk mendapat pendidikan. Beberapa kebijakan yang belakangan menjadi sorotan diantaranya adalah masalah Ujian Akhir Nasional (UAN/UN) di sekolah dan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di perguruan tinggi. Pada dasarnya tidak semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah buruk namun saat tiba pada tahap implementasi tidak jarang terjadi penyimpangan yang berujung kekecewaan masyarakat.
Berikutnya, melompat pada permasalahan guru. Guru adalah elemen penting dalam setiap sistem pendidikan. Hal yang harus disyukuri, peran guru sebagai fasilitator dua arah sudah banyak disadari. Guru sebagai orang yang dianggap selalu benar tentunya sudah tidak bisa diterima lagi sekarang. Apalagi dengan kondisi aliran informasi yang sangat pesat sekarang, bukanlah hal yang tidak mungkin murid bisa lebih tahu lebih dulu dari guru. Dulu, seperti kata Soe Hok Gie, mungkin murid bisa dianggap seperti kerbau yang dicucuk hidungnya lalu mau diperintah apapun. Tapi, sekarang semua sudah berubah sedikit ke arah yang lebih baik.
Turunan permasalahan seputar guru ada pada kualitas guru, lembaga pendidikan keguruan dan penyebaran guru. Pemerintah belakangan ini sangat bersemangat untuk menggenjot kualitas guru, misal dengan mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru. Harus ditanggapi positif meski sekali lagi, tahap penerapan harus menjadi tahapan yang benar-benar harus dikritisi.
Kedua, transformasi beberapa institusi keguruan menjadi universitas sempat membuat kekhawatiran beberapa pakar pendidikan. Pengurangan institusi khusus penghasil guru ditakutkan menjadi bumerang yang akan berbalik saat nanti tuntutan kebutuhan guru yang berkualitas akan semakin tinggi.
Permasalahan seputar guru yang ketiga adalah penyebaran guru. Sekarang, semua orang akan mempertimbangkan kemungkinan untuk menggeluti profesi guru. Apalagi jika mendapat kesempatan mengajar di kota-kota besar seperti Jakarta. Kesejahteraan yang dulu sekedar impian kini sudah terlihat di depan mata dan juga sudah bisa dirasakan. Tapi bagaimana untuk guru-guru di daerah? Sejenak penulis teringat pada Butet Manurung, seorang wanita lulusan S3 yang justru kemudian mengabdikan hidupnya untuk mengajar Suku Anak Dalam di pedalaman provinsi Jambi. Permasalahan penyebaran ini harus benar-benar menjadi perhatian regulator pendidikan.
Penyakit pendidikan Indonesia berikutnya adalah masalah relevansi pendidikan. Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dalam salah satu seminar menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan lulusan yang siap kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan.[4] Dalam kesempatan yang sama, karena penasaran, penulis mengajukan pertanyaan dalam forum tanya jawab. “Apa fungsi pendidikan jika kemudian tidak bisa menghasilkan lulusan yang siap? Berarti materi yang diajarkan harus benar-benar dipertanyakan relevansi dalam kehidupan.”
Dalam jawaban panjang lebarnya, Dorodjatun menyatakan bahwa tantangan berat untuk bisa mengahasilkan lulusan yang siap seluruhnya. Ia pun membenarkan bahwa ada yang harus dipertanyakan megenai materi pendidikan dengan relevansinya. Pada kesimpulannya, Dorodjatun menekankan, meski untuk sampai pada tahap siap kerja atau siap menciptakan pekerjaan cukup berat, setidaknya lulusan pendidikan bisa menjadi lulusan yang siap dilatih. Relevansi ini ternyata berkaitan dengan masalah kebijakan, mutu dan guru.
Penyakit berikutnya adalah masalah mutu. Barangkali karena mutu ini pula relevansi pendidikan di Indonesia banyak dipertanyakan. Di satu sisi banyak sekali siswa Indonesia yang bisa berprestasi di kancah kompetisi akademik internasional seperti olimpiade sains atau lomba sejenis. Tentu hal ini adalah kebanggaan besar bagi bangsa. Tapi di sisi lain juga banyak ketidakadilan harus dialami orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia bisa mengecap pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan dengan guru yang benar-benar bisa digugu dan ditiru, pendidikan dengan fasilitas belajar memadai, sumber bacaan yang luas dan seterusnya.
Membicarakan mutu di atas akan berkaitan dengan dua penyakit berikutnya yaitu masalah pemerataaan dan pembiayaan pendidikan. Pemerataan pendidikan adalah tugas yang berat. Penduduk Indonesia jumlahnya sangat banyak dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Wilayah Indonesia pun sangat luas. Mengatur pemerataan pendidikan adalah mengatur pemerataan hak mendapat pendidikan yang bermutu untuk penduduk Indonesia yang banyak baik kaya maupun miskin dalam wilayah yang luas, dari sabang samapai merauke. Fakta yang ada sekarang justru bertolak belakang dengan keadaan itu. Di satu sisi mulai menjamur berbagai sekolah internasional dengan mutu yang tinggi dengan biaya yang tidak pernah terbayangkan sekalipun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia karena mahalnya. Di sisi lain ada banyak sekolah yang hampir roboh kekurangan guru dan buku dengan kondisi keluarga murid yang serba miskin. Sesuai dengan UUD 1945, hak memperoleh pendidikan harus dapat dijamin pemerintah. Pemenuhan hal tersebut juga harus dipenuhi secara adil. Adil disini bukan berarti sama rata, namun menempatkan setiap hal pada posisi dan proporsi yang tepat.
Penyakit terakhir yang penulis bahas adalah masalah pembiayaan pendidikan. Dari sini biasa dianggap segala permasalahan pendidikan berpangkal. Banyak orang berpikir masalah pemerataan, masalah mutu dan masalah guru bisa dihilangkan seandainya persoalan pembiayaan bisa dipecahkan. Tidak sepenuhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Biaya memang memegang peranan penting dalam pendidikan. Namun membebankan pembiayaan pendidikan pada masyarakat adalah keputusan yang tidak adil. Sementara wacana meningkatkan anggaran pendidikan ternyata masih saja menjadi wacana.
Menuju Pendidikan Holistik: Ekspektasi Pendidikan Indonesia Masa Depan
Holistik berarti menyeluruh. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang menyentuh semua aspek pada manusia secara menyeluruh. Tidak sekedar mementingkan transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, namun juga memperhatikan pengembangan sikap dan karakter manusia. Keluaran dari pendidikan holistik adalah individu yang siap memerankan hidup. Individu yang bisa memanusiakan dirinya sendiri tadi.
Uraian di atas adalah ekspektasi penulis tehadap pendidikan Indonesia di masa depan. Ekpektasi yang harus dibayangkan dalam kepala secara detail lalu dilukiskan secara indah menjadi realita. Realita berupa lukisan harapan pendidikan Indonesia hari esok yang membanggakan. Pendidikan yang bisa menghasilkan sumber daya yang berkualitas tidak secara kepintaran saja tetapi seluruh aspek kemanusiaannya.
Dalam upaya melukis harapan indah tersebut, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyembuhkan penyakit-penyakit yang diidap oleh pendidikan yang sudah diuraikan tadi. Pertama adalah perbaikan kebijakan. Masyarakat harus bisa lebih kritis terhadap pemerintah dalam hal kebijakan pendidikan. Kedua memperhatikan kembali kualitas guru. Upayanya adalah dengan penjaminan kesejahteraan dan perbaikan kualitas lembaga pencetak guru. Ketiga meningkatkan relevansi pendidikan. Keempat meningkatkan mutu pendidikan dan Kelima memikirkan alternatif pembiayaan pendidikan yang tidak terlalu membebani masyarakat.
Langkah selanjutnya dalam upaya menyembuhkan penyakit diatas, penulis berpikir mengenai 3 hal yang harus diperhatikan dalam upaya melakukan holistikasi pendidikan. Pertama adalah meningkatkan peran keluarga dalam pendidikan. Meskipun pendidikan secara formal dilakukan di sekolah. Peran keluarga tetap menjadi hal yang tidak terbantahkan. Dari keluargalah anak mendapat porsi pendidikan paling banyak. Dari keluarga juga pendidikan terjadi tidak sekedar pemindahan pengetahuan namun juga dilakukan pengembangan nilai-nilai lain seperti sikap dan karakter. Di keluarga, pendidikan holistik bisa dimulai dan paling banyak terjadi. Keluarga yang mampu melakoni peran dalam mendidik anak secara baik, akan mampu mengahasilkan anak yang lebih siap dididik di bangku pendidikan formal dan lebih termanusiakan.
Hal kedua yang harus menjadi perhatian penulis adalah masalah harga buku. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat belakangan ini, buku sebagai sebuah benda yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu tetap menjadi media paling efektif dalam transfer informasi. Tantangan terbesar masalah perbukuan di Indonesia adalah harga buku yang sangat mahal sementara daya beli masyarakat sangat rendah. Padahal, membaca buku adalah aktivitas yang sangat penting dalam pendidikan. Menurut Hernowo, membaca adalah berpikir menggunakan gagasan si penulis. Dengan membaca sebenarnya pembaca melakukan diskusi imaginasi dengan penulis. Penulis yakin, jika harga buku bisa ditekan dan jika perlu dibuat gratis pasti akan ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap kualitas sumber daya hasil dari pendidikan.
Hal ketiga yang penulis perhatikan adalah masalah pemanfaatan internet dalam pertukaran informasi. Pada awal pengembangannya, internet sudah digunakan sebagai media pertukaran informasi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan akademik dan pendidikan. Sejak dulu internet menjadi media pertukaran informasi antar kampus, media publikasi hasil penelitian atau sekedar media untuk berdiskusi jarak jauh. Baru kemudian, dalam perkembangan yang lebih lanjut peran-peran lain internet seperti media hiburan, media ekonomi dan perdagangan muncul belakangan.
Secara radikal, penulis membayangkan, jika hanya sekedar mengejar kemampuan kognitif dan ilmu pengetahuan yang siap pakai, orang tidak memerlukan sekolah sama sekali. Terlepas dari dampak negatifnya, saat ini, dengan menggunakan internet orang bisa mendapatkan informasi apa pun termasuk yang berkaitan dengan proses pembelajaran, ilmu-ilmu praktis dan pengetahuan-pengetahuan umum. Keunggulan internet yang bisa menjangkau willayah yang sangat luas bisa mereduksi beberapa penyakit pendidikan yang sempat diuraikan di atas, yaitu masalah pemerataan, relevansi dan tidak perlu lagi memusingkan masalah kebijakan pendidikan. Namun, tentunya peran bangku pendidikan formal tidak akan pernah bisa dihilangkan. Di sekolah pelajar tidak sekedar menerima transfer pengetahuan. Pelajar juga belajar berinteraksi dengan lingkungannya. Pelajar belajar menjadi masyarakat dalam lingkungan miniatur bernama sekolah.
Epilog
Sebelum melukis, pelukis membayangkan gambaran yang akan ia lukis. Penulis membayangkan uraian harapan di atas sebagai gambaran yang ingin dilukis untuk kondisi pendidikan Indonesia ke depan. Setelah bayangan itu cukup kuat di benak, proses melukis pun dimulai. Dalam hal ini proses melukis tersebut adalah tahapan implementasi, mewujudkan gagasan-gagasan di atas secara nyata.
Dalam proses implementasi mewujudkan ekspektasi ini diperlukan keterlibatan yang ekstensif dari pemerintah, masyarakat dan institusi pendidikan. Dengan menyadari betul peran pentingnya, dampaknya dan manfaatnya, perbaikan pendidikan harus dilakukan dengan cepat, mulai dari saat ini juga.
Pendidikan bukan sekedar wadah yang memindahkan pengetahuan belaka. Seperti telah disebutkan juga, ada elemen-elemen lain dari manusia yang justru lebih diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Elemen-elemen semisal pengelolaan emosi, kemampuan bersosialisasi, karakter yang kuat dan seterusnya.
Dengan terciptanya manusia dengan elemen tersebut, diharapkan manusia itu adalah manusia yang lebih berkarakter dan lebih bisa menjadi manusia. Tinggal kita nantikan saja, seperti apa bentuk lukisan tersebut saat ia selesai dibuat.
[1] E.F Schumacher, Kecil Itu Indah, Jakarta:LP3ES, 1981
[2] Edward P. Lazear, Education in 21st Century
[3] Kompas 24 Oktober 2004
[4] Workshop Wirausaha Muda Mandiri, Hotel Nikko Jakarta 14 -15 November 2007