Makan Kodok Hidup sebagai Solusi Untuk Kebiasaan Menunda Pekerjaan (Procrastinate)

September 2010. Akhir tahun ini usia saya akan masuk 25 tahun. Sepertinya semua hal berjalan dengan baik dalam hidup saya. Keliatannya. Namun sejujurnya tahun-tahun belakangan saya merasa ada sesuatu yang salah. Indikasinya adalah kegelisahan dan kepercayaan diri yang cenderung semakin menurun. Rutinitas kehidupan yang benar-benar stagnan dan seakan jalan di tempat. Yang paling mengecewakan, target-target rancangan hampir semua tidak ada yang tercapai. Kalau pun ada yang terselesaikan adalah target dengan nilai manfaat yang kecil dan tidak berdampak signifikan. Sementara target-target besar sebagian tidak tertangkap dan berenang lari dalam lautan imaginasi dari mimpi-mimpi yang tidak diwujudkan. Siang ini dengan seketika seperti mendapat pencerahan saya mendapatkan hal yang menyebabkan problem-problem tadi. Setannya bernama procrastination.

Sebelum membahas mahkluk bernama procrastination tadi saya ingin sedikit menceritakan contoh kasus. Bagi yang pernah duduk di bangku kuliah, pasti pernah bertemu dengan orang atau bahkan menjadi individu yang merasa menamatkan kuliah dengan terseok-seok molor bersemester-semester. Pada kejadian ini biasanya semua mata kuliah telah diselesaikan tepat pada waktunya. Namun lama waktu terbuang ada di penyelesaian skripsi. Kuliah S1 yang standarnya dapat diselesaikan 4 tahun harus ngaret menjadi 5, 6 bahkan 7 tahun, itupun jika selamat tidak ditendang dari kampus. Apa yang salah dengan hal tersebut? Apakah si orang yang mengalami keterlambatan itu bodoh tidak mempunyai kapabilitas? Kenyataannya pada sebagian besar kejadian, masalah ada pada penundaan yang tidak perlu namun secara sadar dilakukan. Orang-orang seperti kasus ini adalah contoh dari proscanitor.

Procrastinate adalah kata kerja bahasa inggris yang berarti “to postpone, put off, defer, prolong” diterjemahkan secara bebas menjadi menunda. Procrastinator adalah aktornya. Asal katanya sendiri adalah dari kata latin pro yang berarti “depan” dan crastinus berarti “untuk besok”. Mengapa harus menunda? Biasanya terjadi karena sikap yang terlalu perfectionis atau ketakutan berlebihan dalam mengerjakan suatu tugas. Terkadang mendeteksi apakah kita seseorang procrastinator atau bukan bukanlah hal yang mudah. Saya sendiri baru menyadari bahwa saya mengidap syndrom ini setelah mendapat pencerahan seketika tadi siang seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Pada awalnya saya hanya merasa ada yang tidak beres atas hidup saya. Ada banyak hal-hal yang terbengkalai, rutinitas yang menjemukan dan kemajuan-kemajuan personal yang berjalan lambat. Saya baru benar-benar sadar bahwa hal tersebut ternyata disebabkan oleh sebuah hal yang sangat sederhana namun dengan mengatasinya saya bisa mencapai kemajuan yang signinfikan. Penyebab tersebut adalah kebiasaan menunda sesuatu hal yang sebetulnya bisa saya selesaikan saat ini juga.

Saya akan coba berbagi pengalaman bagaimana saya akhirnya dapat mengidentifikasi beberapa kegagalan karena kebiasaan menunda (procrastinate) yang saya lakukan. Sejak dulu saya adalah tipikal personal yang punya sense to compete yang cukup tinggi. Wujud nyatanya selalu tertarik untuk mengikuti kompetisi-kompetisi yang relevan dengan pengetahuan saya yaitu menulis dan software development. Pada masa kuliah, saya boleh cukup bangga pernah beberapa kali menjadi finalis dalam kompetisi-kompetisi tadi. Meski tidak menang kepuasan saya ada pada bahwa saya bisa menargetkan sesuatu (menjadi partisipan kompetisi) lalu bekerja keras untuk mencapai target itu dalam tenggat waktu yang tersedia. Degradasi pun terjadi setelah saya lulus kuliah. Sense of to compete masih cukup tinggi. Namun entah mengapa setiap kali ada even lomba seperti sebelumnya saya pasti bersemangat untuk berpartisipasi namun kali ini rasanya berat untuk melakukan aksi aktif dalam mewujudkan partisipasi tersebut. Karena biasa tenggat lomba masih cukup lama, saya kemudian mengkomunikasikan dalam hati bahwa saya sangat bersemangat untuk berpartisipasi, namun saya akan menunda sejenak mulai mengerjakan hal-hal yang diperlukan untuk lomba nanti. Biasanya karena merasa belum yakin memiliki semua referensi yang diperlukan atau karena saya ketakutan duluan khawatir tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bagus. Apakah yang lalu terjadi kemudian? Saya tidak pernah mengerjakan apa pun hingga tenggat lomba selesai dan sejak lulus kuliah keinginan berpartisipasi di kompetisi hanya sampai pada domain imaginasi karena tertolak mentah-mentah di domain realitas oleh kebiasaan menunda tersebut. Sejak itu maka saya sering merasa menjadi orang yang gagal.

Satu hal yang menarik dari syndrom procrastinate, keburukan ini diakui merupakan permasalah yang bersifat psikologi yang dialami banyak orang tanpa mengenal pintar bodoh atau kaya miskin. Jika kebiasaan ini dibiarkan akan ada banyak hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi. Yang paling utama adalah kehidupan yang stagnan dan bahkan berjalan mundur karena banyak perkerjaan yang tidak dapat kita selesaikan karena kita terus menunda semua hal. Namun jangan khawatir, seperti permasalahan psikologi lainnya, kebiasaan menunda dapat diperbaiki jika mau serius dan fokus. Solusinya, adalah seperti judul post ini, memakan kodok.

Tentu saja saya tidak serius dengan masalah makan memakan kodok ini. Siang setelah saya mengidentifikasi masalah pada diri saya, segera saya menari referensi terkait. Saya pun menemukan buku dari Brian Tracy (salah satu penulis favorit saya) yang berjudul Eat That Frog! 21 Great Ways to Stop Procrastinating and Get More Done in Less Time. Saya baca buku itu dari setelah maghrib hingga sekitar pukul 22 barusan sebelum menulis pengalaman yang saya dapat dalam post ini. Saya tidak akan menguraikan 21 cara untuk menghapus kebiasaan menunda namun saya hanya ingin menceritakan intisari terpentingnya saja.

Hal pertama yang harus dilakukan setiap pagi memakan seekor kodok hidup-hidup sehingga kita bisa melanjutkan hari dengan kepuasan sebab kita telah melakukan hal terburuk paling menjijikan yang yang terjadi sepanjang hari. Kodok di sini adalah tugas terpenting yang biasanya akan kita tunda dengan berbagai alasan padahal tugas itu akan berdampak sangat besar. Aturan pertama dari ritual memakan kodok ini adalah jika kita mempunyai dua ekor kodok. Makanlah kodok yang terjelek dulu. Aturan kedua jika kita memang harus memakan kodok, jangan terlalu lama berpikir, lakukanlah saja langsung. Langsung kunyah dan telan. Maksud dari aturan pertama, kerjakan tugas paling penting dulu meski itu tidak mengenakan. Sebab setelah itu selesai kita akan puas dan dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan lain dengan lebih mudah sebab kita merasa jika yang berat saja selesai pasti yang mudah akan selesai juga. Jika urutannya dibalik (seperti kebiasaan kita secara natural) kita akan mengalami banyak kesulitan. Aturan kedua memiliki arti, dengan terlalu berpikir lama dan banyak melakukan pertimbangan hanya akan membuat kita terus menunda hal-hal yang harus diselesaikan. Mulailah dan jangan berhenti sebelum selesai. Jangan pernah menunda lagi mulai sekarang.

Review Canon EOS 1000d – Haruskah anda membelinya?

Sesuai dengan judulnya, post ini akan membahas sedikit sisi dari Canon EOS 1000d dari perspektif saya.Tanpa bermaksud menyaingi engadget atau dpreview saya akan membagi pengalaman sejak melakukan unboxing kamera sekaligus sedikit alasan yang membuat akhirnya saya menjatukan pilihan ke si Canon EOS 1000d ini. Jika ulasan sangat bias tentunya harus dapat dipahami sebab interaksi saya dengan si mahkluk berlensa ini baru berlangsung kurang dari 1 minggu saja.

Background
Keinginan untuk mencoba hobi fotografi sebenarnya sudah cukup lama ada di diri saya. Entah mengapa saya merasa orang manapun biasa akan lebih terlihat keren saat memegang kamera bagus dan berpose ala fotografer profesional saat mengambil foto. Pernyataan tersebut sepertinya sudah cukup menggambarkan betapa pragmatisnya sekaligus noraknya diri saya. Sekian lama hasrat untuk hobi itu harus terpendam, sebab seperti yang sebagian besar orang juga tahu, fotografi bukan hobi yang murah meriah. Tentunya kemungkinan menyalurkan hobi tanpa mengeluarkan uang selalu ada. Tapi ketersediaan kamera serius adalah hal yang mau tidak mau harus diwujudkan untuk memulai membekukan dunia ke dalam gambar-gambar.

Memililih Kamera
Saya menulis post khusus yang membuat pada akhirnya saya memilih Canon EOS 1000d sebagai kamera dSLR pertama saya.

Unboxing
Packaging dari Canon EOS 1000d sangat rapi. Konten dari paket penjualan adalah sebagai beriut:

  1. Body Canon EOS 1000d
  2. Lensa EF-S 18-55 mm
  3. Kabel USB
  4. Kabel Video untuk ke TV
  5. Baterai
  6. Charger
  7. Tali Kamera
  8. CD software
  9. Manual Book

Hal yang kurang. Filter untuk melindungi lensa. Untuk lensa 18-55 mm diameter filternya adalah 58 mm. Saya sendiri menggunakan Kenko. Berikutnya adalah ketiadaan tas. DSLR nampaknya kurang akrab terhadap guncangan. Menenteng-nenteng DSLR tanpa tas yang aman bukan hal yang terlalu aman untuk dilakukan.

Ulasan Dangkal
Pada awalnya saya mengira bahwa dSLR adalah memang kamera yang dirancang sulit dan tidak mungkin langsung digunakan orang awam karena semua hal harus diatur secara manual. Tapi setelah melakukan unboxing dan mencoba beberapa kali jepret gambar, pernyataan ini harus digugurkan. Selayaknya kamera digital biasa, DSLR pun memiliki mode full otomatis. Nyalakan kamera, pilih mode full otomatis, cari objek menarik, tekan tombol setengah shutter untuk mendapat auto fokus, tekan tombol shutter sepenuhnya dan gambar pun sudah ditangkap. Untuk yang sebelumnya terbiasa jeprat-jepret dengan kamera hp dan kamera digital biasa akan mengalami momen kagum sesaat betapa bagusnya hasil jepretan kamera DSLR.

Tidak akan ada orang yang melarang kita untuk terus mengambil foto hanya dengan mode auto fokus saja. Namun kekuatan sebenarnya dari DSLR adalah pilihan untuk mengatur semua pengaturan sampai limit maksimal kamera. Artinya kreativitas benar-benar bisa lepas dibandingkan dengan menggunakan kamera biasa yang sangat terbatas pengaturan manualnya.

Mode kamera terbagi menjadi 2. Pertama adalah basic zone. Mode-mode disini akan mengatur otomatis parameter-parameter kamera berdasar tipe potret yang akan kita lakukan. Mode paling pertama adalah full otomatis. Kedua Portrait untuk mengambil foto diri. Ketiga landscape untuk pemandangan. Keempat macro untuk mengambil foto benda-benda kecil. Keenam Sports untuk mengambil foto objek yang bergerak cepat. Night Portrait adalah mode foto diri di malam hari. Terakhir adalah flash off jika tidak ingin lampu flash aktif dengan sendirinya.

Zona kedua adalah zona kreatif. Di sini semua variabel DSLR seperti besar bukaan diafrahma (aperture), kecepatan bukaan lensa (shutter speed) dan kecerahan ISO dapat diatur manual. Mode pertama di zona ini adalah Program Auto Exposure. Aperture dan shutterspeed akan diatur secara otomatis. Mode kedua Shutter Speed Priority. Kita mengatur shutter speed dan kamera akan memilih aperture yang sesuai. Mode ini dipilih untuk memotret benda-benda bergerak. Mode selanjutnya aperture priority. Kita mengatur aperture dan kamera akan memilih shutter speed yang paling sesuai. Mode ini berguna untuk memotret dengan tingkat kedalaman gambar yang ingin kita atur. Contohnya memotret suatu objek dengan latar belakang yang dibuat blur. Mode berikutnya adalah manual exposure. Pada mode ini semua nilai aperture, shutter speed dan ISO kita tentukan sendiri. Mode terakhir adalah Automatic dept-of-field Auto Exposure.

Dari pilihan-pilihan mode yang sangat banyak tersebut adalah sangat lebih dari cukup untuk berkreasi dan bereksperimen menghasilkan foto-foto yang bagus. Jadi meski memang Canon 1000d adalah DSLR entry level dengan level harga paling murah tidak membatasi kreativitas untuk mengambil gambar-gambar bagus. Seperti banyak ditulis di artikel cara memilih DSLR, masalah utama bukan seberapa mahal kamera kita. Namun seberapa handal kita dapat menggunakan kamera tersebut.

Kesimpulan
Pembaca yang kritis pasti akan berkomentar, kok cepet amat sampai kesimpulan padahal dari latar belakang, pembahasan yang dilakukan masih sangat dangkal. Ya demikianlah berhubung penulis amatir pegel otak cari-cari bahan kata untuk menulis terlalu panjang. Kesimpulannya adalah, jika anda adalah orang yang ingin belajar fotografi atau sekedar traveler yang ingin mengambil foto-foto perjalanan dengan kualitas lebih baik, Canon EOS 1000d adalah pilihan yang paling sempurna dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Tips Memilih Kamera DSLR Untuk Pemula

Post ini adalah tulisan dari pemula tulen untuk pemula biasa. Jika ada informasi yang kurang sesuai mohon koreksi agar dapat diperbaiki.

Hidup ini harus seimbang. Ada waktunya bangun ada waktunya tidur. Ada waktunya kerja keras ada waktunya menyalurkan hobi ke hal-hal baru. Niscaya, seharusnya pikiran akan lebih terbuka dan otak akan lebih balance antara otak kiri dan kanan. Dari beberapa banyak hobi, mulai dari sepeda, mengumpulkan prangko, mengumpulkan bungkus kacang (dulu saya sempat menjalankan hobi ga jelas ini) dan fotografi adalah beberapa dari hal-hal baru baru yang patut di coba. Karena post kali berjudul DSLR pasti kaitannya ke fotografi dan bukan filateli (hobi koleksi prangko) apalagi nyambung ke hobi koleksi bungkus kacang.

Lalu bagaimana untuk memulai hobi fotografi? Tentunya dengan memiliki sebuah kamera. Banyak orang berpikir seseorang baru dikatakan serius menyalurkan hobi foto jika dia telah memiliki kamera serius (baca: DSLR). DSLR sendiri kependekan dari Digital Single Lens Reflect. Digital artinya bukan kamera konvensional jaman dulu yang masih menggunakan negatif film. Single lens reflect artinya kamera hanya menggunakan satu lensa baik untuk view finder maupun sensor yang menangkap gambar. View finder menangkap gambar dari lensa menggunakan refleksi cermin yang terpasang di belakang lensa. Mohon dimaklumi jika ada penjelasan yang kurang tepat, sebab informasi tersebut saya rangkum dari pengetahuan saya tentang fotografi yang masih terbatas.

Pernyataan bahwa hobi fotografi harus menggunakan DSLR sebetulnya kurang tepat. Untuk memulai sebuah kamera digital biasa sudah mencukupi untuk belajar memahami komposisi dan melatih insting untuk menangkap momen yang bagus. Jadi pernyataan yang mengatakan hobi fotografi itu adalah mahal tidak 100% benar juga. Jika sudah merasa cukup terbiasa dengan kamera digital biasa barulah kita dapat mencoba kamera DSLR. Ada banyak perbedaan signifikan antara kamera digital biasa dengan DSLR. Kamera digital biasa dirancang untuk point and shoot activity. Pengaturannya sebagian besar sudah otomatis dan nilai-nilai pengaturannya tidak terlalu banyak dapat dirubah. Di sisi lain DSLR memang dirancang untuk mengambil foto secara lebih serius. Meski sebagian besar DSLR memiliki mode full otomatis, tapi kekuatan dari DSLR adalah kebebasan kita untuk mengatur pengaturan kamera hingga limit maksimalnya. Perbedaan signifikan lain berbeda dengan kamera digital biasa, lensa DSLR dapat dilepas dan ditukar dengan tipe-tipe lensa yang berbeda. Fitur ini adalah nilai lebih yang tidak dapat ditandingi kamera digital biasa.

Jadi bagaimana cara memutuskan kamera DSLR yang paling baik untuk dipilih? Ada beberapa tahap dan semua tahapan sangat logis. Paling pertama adalah tanyakan pada diri kita apakah benar kita memang serius ingin mencoba fotografi? Jangan sampai keinginan membeli DSLR hanya karena ikut-ikutan atau ingin terlihat keren saja. Sebab uang yang dikeluarkan untuk membeli kamera akan mubazir jika kita hanya euphoria sesaat lalu tidak lebih dari sebulan kamera hanya akan disimpan di lemari karena sudah bosan duluan. Jika secara personal sudah yakin bahwa kita memang ingin mencoba fotografi secara serius maka tahapan selanjutnya adalah melakukan riset informasi.

Di era internet mencari ulasan tentang suatu produk adalah hal yang sangat mudah. Termasuk hal-hal berkaitan dengan DSLR. Salah satu tempat ulasan DSLR paling lengkap adalah di dpreview. Saking lengkapnya saya pribadi malas membaca ulansan di sana karena terlalu panjang dan detail. Pada tahapan ini carilah tipe-tipe DSLR yang ramai di bahas sehingga kita dapat mulai membuat list kandidat DSLR yang akan kita beli. Setelah tahapan riset ini berikutnya adalah membatasi budget.

Dana tersedia adalah batasan paling nyata dalam membeli benda apa pun, entah itu mobil, handphone dan termasuk DSLR. Bersikaplah rasional dalam tahapan ini. Jangan memaksakan langsung menghambur-hamburkan uang seketika. DSLR memiliki rentang harga dari 4 jutaan hingga ratusan juta rupiah. Itu belum termasuk jika kita ingin membeli lensa yang tidak biasa di mana harga lensa terkadang berlipat-lipat lebih mahal dari harga kamera sendiri. Janganlah terburu nafsu untuk membeli gear termahal apalagi jika kita (seperti saya) masih dalam tahap ingin mencoba belajar meski budget kita tersedia.

Setelah ancang-ancang budget selesai dilakukan, langkah logis selanjutnya adalah membatasi merk kamera yang akan dipilih. Tanpa mengecilkan merk-merk lain, hanya ada dua nama besar yang bersaing ketat di pasar kamera DSLR. Pertama adalah Nikon dan kedua adalah Canon. Tentu saja pernyataan pertama tadi bukan dengan maksud menilai merk-merk lain tidak perlu dipertimbangkan. Setiap produk pasti ada keunggulan dan kekurangannya. Jika ada pertanyaan semacam antara Canon dan Nikon yang mana yang lebih bagus? Jawabannya adalah tidak ada. Pada kebanyakan pengalaman orang-orang berhobi fotografi pilihan merk biasanya justru diambil atas dasar kesamaan merk dengan teman-teman lain. Alasannya adalah dengan memiliki merk DSLR yang sama, akan mempermudah pinjam meminjam aksesori misalnya saat hunting foto bersama.

Langkah selanjutnya adalah memilih lensa. Pada awalnya saya sempat heran bahwa ada paket penjualan DSLR yang tidak menyertakan lensa yang sering disebut paket body only. Artinya seperti yang telah disebut di atas, selain membeli body, saat membeli DSLR kita pun harus memikirkan lensa apa yang akan kita pakai. Keputusan memilih lensa pun bukan hal yang mudah dengan banyak variasi lensa mulai dari variasi merk, variasi fitur dan variasi kegunaan spesifik. Pertimbangan memilih lensa hanya dapat dilakukan setelah kita bulat memilih merk body yang akan kita gunakan. Sebab hingga saat ini tidak ada standar untuk desain DSLR yang memungkinkan DSLR beda merk menggunakan lensa yang sama. Untuk tiap pilihan merk body, ada banyak pilihan merk lensa. Tentunya pemilik merk DSLR juga memproduksi lensa. Namun pilihan tidak terbatas di sana saja, sebab banyak pihak ketiga yang memproduksi lensa untuk body-body DSLR. Yang paling terkenal diantaranya Tamron dan Sigma. Pada paragraf terakhir ini akan dijawab pertanyaan lensa apakah yang sebaiknya digunakan? Jawabannya agak susah untuk dibuat sederhana. Tergantung. Tergantung dana dan spesialisasi fotografi yang ingin diambil. Namun sesuai dengan judul bahwa post ini membahas panduan membeli DSLR untuk pemula maka tidaklah perlu berkerut-kerut dahi untuk menjatuhkan pilihan. Sebab, pada penjualan DSLR biasanya ada penjualan yang menyertakan langsung lensa tertentu. Pilihan paling rasional bagi pemula adalah untuk membeli paket dengan lensa kit biasa, biasanya dengan panjang fokus 18-55 mm.

Setelah selesai mempertimbangkan beberapa variabel-variabel tadi langkah selanjutnya adalah mencari informasi harga. Jangan sampai membeli di atas harga normal. Caranya bisa melihat daftar harga di beberapa toko online sebagai acuan. Atau langsung meluncur ke toko-toko kamera untuk membanding-bandingkan harga.

Terakhir saya akan membagi pengalaman pribadi proses memilih DSLR pertama saya. Paling pertama saya membatasi budget body + lensa maksimal 8 juta rupiah. Kedua saya membatasi hanya memilih merk Canon. Ketiga saya sadar dalam tahap belajar, sehingga belum dulu membeli lensa aneh-aneh jadi sudah cukup puas dengan lensa kit standar dulu. Keempat dari beberapa variabel pertama tadi akhirnya keluar daftar tipe-tipe berikut. Canon EOS 550d, Canon EOS 500d dan Canon EOS 1000d. Harga mereka dengan lensa kit secara berurutan ada pada kisaran 7 jutaan, 6 jutaan dan 4 jutaan. Pada awalnya saya gelap mata ingin mengambil Canon EOS 550d sekaligus. Namun setelah ditimbang-timbang secara matang meski saya punya budget di atas harga DSLR termahal yang masuk dalam daftar pilihan saya, itu tidak harus berarti budget tersebut harus saya habiskan begitu saja. EOS 550d memang bagus, memiliki fitur-fitur yang luar biasa. Tapi saya kira untuk tahap belajar kali ini pilihan cukup saya jatuhkan di Canon EOS 1000d saja dan bisa menghemat sekitar 3 jutaan. Kelak jika sudah cukup terampil, barulah coba naik kelas ke tipe-tipe yang lebih canggih.

Demikian panduan memilih DSLR yang diambil dari pengalaman saya pribadi. Semoga bermanfaat.