Love is never easy, here in New York City

I can imagine if there’s nothing in my pocket.
But I can’t imagine if there’s no knowledge in my mind and religion in my heart.
They are others sun in my life.

Malam ini hujan turun dgn sangat deras sekali. Listrik pun kebetulan padam. Momen seperti sudah lama tidak aku rasakan. Langsung kuraih handphone ku menyetel lagu I’ll be over you milik Toto. Dengan latar hajaran suara hujan yg turun menembaki bumi, aku mulai mengetik di atas tablet. Aku ingin melakukan refleksi diri sejenak.

Sebelum listrik padam, aku tengah membaca 9 Summers 10 Autums novel Iwan Setiawan. Kata Love is never easy, here in New York City pun adalah petikan yang berasal dari buku tersebut. Aku terpaksa  berhenti membaca dengan hilangnya penerangan tanpa listrik. Meski kemudian ternyata listrik tak lama menyala kembali dan aku bisa menyelesaikan buku itu. Novel itu membawa gambaran New York City di depan mata aku. Penulis bercerita tentang kehidupannya yang dimulai dari Batu di Malang hingga bisa sampai ke NYC di Amerika Serikat. Dimulai dari kemiskinan namun dengan usaha keras dan mimpi langit pun bisa diterabas. Sekilas seperti sihir. Namun itulah hidup, selalu ada kemungkinan untuk terjadinya hal-hal yang mungkin tidak pernah kita pikirkan. Demikian juga selalu ada jalan mewujudkan mimpi kita yang paling mustahil sekali pun.

Tidak, sejak dulu aku tidak pernah terlalu berminat pergi ke Amerika Serikat. Namun cerita dari buku itu memberi sedikit stimulus untuk membuat aku memikirkan ulang hidupku sekarang dan hidupku nanti. Memikirkan di mana aku sekarang dan mengindentifikasi mau ke manakah aku melangkah.

Salah satu refleksi pertama yang  penting untuk direnungkan adalah masalah cinta. Love is never easy, here in New York City. Manusia itu punya hati. Di hati itu ada cinta. Cinta memang tidak pernah mudah baik itu di New York City, meski itu di Jonggol, meski itu di Jakarta, atau di mana pun juga.

The way love is never easy itu baru benar-benar aku rasakan sekarang. Dulu aku sering percaya cinta itu selalu manis, cinta itu selalu tulus, cinta itu selalu indah. Namun 3 bulan ini adalah masa paling berdarah dalam hidup aku. Masa ketika merasa kaki tak berpijak lagi ke bumi. Masa ketika aku merasa teramat kehilangan. Masa ketika merasa teramat dikhianati. Masa ketika aku tersadar telah dibodohi sedemikian parahnya. Namun masa ini pula adalah masa paling berarti ketika aku bisa mendapat pelajaran paling berharga dalam hidup.

Cinta bukan sekedar kecantikan fisik, kekayaan materi dan juga bukan rasa kasihan. Mencoba membangun cinta di atas 3 pondasi tersebut ibarat membangun rumah di atas pasir. Rumah akan roboh sebelum selesai. Lalu sepeti apakah cinta yang benar? Aku juga masih mencari. Secara naif mungkin akan mengatakan cinta yang benar adalah  yang hanya mengharap ridha Allah. Mungkin.

Refleksi kedua adalah perjalan mengejar mimpi. Sekali lagi untuk saat ini aku tak terlalu berminat ke Amerika. Dulu aku sangat menggebu-gebu sekali untuk kuliah ke Jepang. Namun gempa besar kemarin dengan sangat pragmatis membuat aku sedikit gentar. Padahal pada dasarnya tak permukaan bumi manapun yang akan melindungi kita dari ajal ketika waktunya tiba. Entahlah kemana pun itu, Jepang, Prancis, UK atau Belanda aku hanya ingin mulai merajut mimpi kembali. Mengejar ambisi-ambisi lama yang sempat terkubur beberapa tahun belakangan. Semoga momen patah hati ini menjadi waktu yang tepat untuk bangkit kembali.

Sejak minggu kemarin aku sudah sibuk mengurus TOEFL dan TPA. Tekad aku sudah bulat. Aku harus segera kuliah lagi. Aku ingin membangkitkan kembali yang telah terhibernasi sekian lama. Aku tahu tak ada yang mudah. Banyak hal harus diperjuangkan dengan darah dan air mata.