Ketika Uang pun Bukan Penghalang untuk Menikah

Menikahlah maka engkau akan kaya.

Post ini akan sedikit bercerita mengenai pengalaman hidup yang saya alami yang membuat saya merubah pandangan mengenai pernikahan. Dulu saya tak percaya quote di atas. Namun setelah menjalaninya terbuktilah itu benar adanya.

Saat Allah meniupkan ruh pada raga manusia, di saat yang sama ditentukan juga rejeki, ajal dan jodohnya. Namun itu semua adalah takdir yang harus diperjuangkan. Seperti yang sering saya tulis, jodoh itu memang di tangan Allah. Namun kita harus ikhtiar agar tak di tangan Allah terus dan bisa pindah ke sisi kita dan hati kita. Demikian juga rejeki. Sesering apa pun shalat dhuha dan berdoa tidak akan membuat rejeki datang begitu saja. Harus ikhtiar.

Sejak awal tahun 2011 saya membulatkan niat ingin menikah. Dengan siapa? Jujur pada saat pertama beritikad saya tak punya target sasaran tembak. Di satu hari di bulan Maret 2011 saya iseng browsing website kominfo. Singkat cerita, saya iseng apply. Singkat cerita pula saya lolos hingga tahapan wawancara yang dilaksanakan pada Juni 2011. Sejak awal saya benar-benar niat semata-mata cuma untuk apply beasiswa. Namun lucunya pada saat ba’da wawancara ada psikotest saya duduk di samping ukhti berjilbab. Namun ukhti ini sangat modern dan sangat gaul dan juga terlihat sangat pintar (demikian juga kenyataannya). Singkat cerita lagi, sambil psikotest, dengan jurus maut saya berkenalan dan akhirnya sepanjang psikotest kami ngobrol banyak. Singkat cerita lagi sebelum bubaran seleksi beasiswa itu saya dengan jurus maut lain berhasil meminta nomor handphone gadis tersebut. Kesimpulannya sekali lagi saya memang cuma ingin melamar beasiswa. Namun sedikit improvisasi tentunya hal yang tidak dilarang :).

Setelah proses kenalan tersebut akhirnya saya menemukan beberapa kecocokan dan karakteristik ideal yang sepertinya ada lengkap pada gadis yang pada akhirnya menjadi istri saya tersebut. Sejak itulah saya cukup rajin shalat sunah dan istikharah untuk meminta petunjuk pada Allah. Setelah beberapa waktu menjalani itu saya merasa semakin berat, hingga akhirnya di satu hari di bulan Juli 2011 sekitar 2 hari sebelum Ramadhan, saya “menembak” calon istri saya. Definisi menembak di sini tentunya bukan sekedar bilang I lop u. Namun saya menyampaikan itikad ingin serius berencana menjadikan calon istri saya itu ebagai istri saya. Tembakan saya tidak dijawab. :p Tapi saya tak peduli. Yang penting sudah ditembak. Meski tak kena yang penting hati plong (meski sejujurnya agak miris dan galau juga).

Menariknya sekitar 2 minggu berikutnya di pertengahan bulan Ramadhan akhirnya istri saya akhirnya menerima tembakan saya. Girang bukan kepalang tentunya. Akhirnya saya putuskan ba’da lebaran untuk bersilaturahmi ke rumah calon mertua saya di Jember. Di sana saya dikenalkan dengan semua anggota keluarga besar istri. Selayaknya silaturahmi ke keluarga pasangan, pertanyaan sakti yang akan sering dilontarkan adalah “kapan nih mau diresmikannya?” Dan kami selalu menjawab pertanyaan itu dengan mesem mesem karena kami sendiri benar-benar blank. Dari silaturahmi itu juga saya diberi wejangan oleh orang tua istri. Bahwa pernikahan itu bukan sekedar melihat persamaan. Namun justru harus lebih melihat perbedaan. Sebab faktor perbedaan inilah yang kelak lebih berperan. Berperan dalam semakin mengikat tali pernikahan atau bahkan bisa juga berperan meretakkan ikatan rumah tangga. Naudzubillah. Dari kunjungan itu saya merencanakan untuk mengajak orang tua saya bersilaturahmi ke Jember dalam waktu dekat.

Sepulang dari anjangsana anjangsini ke rumah mertua, keinginan menikah saya semakin bulat. Saya pun terus rajin istikharah untuk memastikan keputusan seumur hidup sekali ini tak salah diambil. Namun tantangan terbesar saya, dan kebanyakan pria muda yang ingin menikah adalah… duit. I don’t have money at all. Tabungan saya itu seperti ember bocor halus. Embernya akan terisi saat hujan di awal bulan. Namun karena bocor halus airnya akan menyurut dan habis di akhir bulan. Saya juga memutuskan untuk sambil mencari-cari kerjaan baru untuk bisa mendapat kenaikan gaji. Sebab di kantor lama sepertinya gaji sudah mentok dan susah untuk naik lagi. Barangkali dengan mencari kenaikan gaji saya bisa menabung cepat beberapa bulan dan mengumpulkan uang untuk bisa membeli mas kawin yang patut dan selamatan sederhanan. Sempat berpikir juga untuk menunda nanti saja menikahnya. Setelah dua atau tiga tahun lagi bekerja. Menunggu mapan, punya rumah dan mobil dulu. Namun di saat itu juga tiba-tiba saya takut tidak bisa menemukan yang sebaik istri saya ini. Singkat cerita lagi, saya tiba pada momen super tawakal dan semakin rajin shalat istikharah untuk dimudahkan dalam proses tersebut.

Di satu hari di bulan September, saat di kantor, tiba-tiba saya mendapat sebuah telepon dari nomor aneh. Saat diangkat ternyata seorang wanita di sudut sana. Ia memperkenalkan diri sebagai rekrutmen agensi untuk sebuah proyek IT di Singapura yang tengah membutuhkan resource dengan skill Java EE, Hibernate dan JBoss Seam. Skill set yang kebetulan banyak saya pakai 3 tahun terakhir pada waktu itu. Mendengar kata Singapura kuping saya langsung berdiri tajam. Intinya sang rekruiter ingin meminta ijin untuk meproses profile saya. Setelah menimbang-nimbang sejenak akhirnya saya setuju untuk diproses. Pada saat yang sama saya juga melanjutkan proses apply-apply beberapa pekerjaan ke beberapa jobsite. Saya mengikuti proses rekrutmen 4 perusahaan di Jakarta sambil terus mengikuti proses rekrutmen job di Singapura juga. Saya harus mengikuti dari round phone interview untuk job di Singapura. Meski pada akhirnya cukup satu round saja. Singkat cerita lagi akhirnya saya mendapat job offer dari kantor di Singapura dan pada saat yang sama saya juga mendapat beberapa job offer di Jakarta. Tiba-tiba saya menjadi galau. Tiba-tiba saya segan keluar dari daerah nyaman. Meski cuma selemparan batu dari Jakarta, tapi tiba-tiba saya takut jika harus pindah ke Singapura dan segan berpisah dengan calon istri saya. Akhirnya dengan pemikiran mendalam dan setelah berdiskusi dengan istri dan orang tua saya putuskan untuk menolak tawaran kerja di Singpura dan memilih stay di Jakarta saja. Apalagi setelah mendengar rencana saya untuk pergi ke Singapura, orang tua kami sepakat untuk melangsungkan prosesi lamaran di bulan November.

Saya langsung mengirim email menolak job offer tersebut. Tak lebih dari 5 menit rekruiter saya langsung menelepon. Ia langsung menanyakan alasanya dan berusaha membujuk-bujuk saya. Bahkan ia pun berusaha menawarkan untuk negosiasi gaji lagi. Kembali saya menjadi galau. Saya pun berdiskusi sejenak lagi dengan calon istri saya. Akhirnya dengan bismillah saya menerima job offer tersebut. Artinya dalam 3 minggu saya harus berangkat ke Singpura. Mendengar perubahan keputusan ini orang tua kami kemudian mendadak merubah rencana lagi. Prosesi lamaran pun dibatalkan! Mereka memutuskan untuk langsung menikahkan kami! Setidaknya secara prosesi agama terlebih dahulu dengan mengundang keluarga-keluarga terdekat saja. Tanggalnya 19 November 2011. Dengan sedikit tabungan yang ada seminggu sebelum pernikahan saya dan istri gerilya mempersiapkan pernikahan ini. Menyiapkan baju dan seserahan. Apalagi istri saya harus dinas luar kota seminggu sebelum akad nikah. Akhirnya atas berkat rahmat Allah kami menikah pada tanggal 19 November 2011. Pada taggal 27 November saya terbang ke Singapura. Desember saya bolak balik beberapa kali Singapura – Jakarta untuk mempersiapkan resepsi dan akad negara yang akan dilangsungkan pada 20 Januari 2012.

Pada malam ini di sebuah pojokan kamar kecil di sebuah apartemen di Farrer Park Singpura saya masih percaya tak percaya bila sudah menjadi suami orang. Dulu saya yang sempat galau takut merasa tak mampu membiayai pernikahan ternyata sudah dimampukan Allah. Hanya karena doa yang dalam dan istikharah yang kontinyu. Tentunya banyak cerita serupa yang dialami oleh teman-teman lain juga. Insya Allah jika sudah diniatkan dengan bulat dan ditambah dengan fondasi yang baik, niat baik kita pasti akan dilancarkan.

Cerita tentang Pintu Satu Arah

Post ini sedikit terpicu oleh headline utama di Indonesia saat ini: jatuhnya Sukhoi Superjet-100. Beberapa hari ini saya cukup rajin memantau berita tentang ini. Baik dari portal berita atau streaming TV Indonesia lewat mivo.tv. Di satu sisi, keberadaan berita memiliki dampak positif dalam menyebarkan informasi. Namun di sisi lain terkadang berita-berita besar seperti ini diekspos terlalu berlebihan dan membuat seakan si pembuat berita kehilangan empati terhadap korban dan keluarganya. Hal ini diperparah lagi dengan statement-statement tak perlu dari pejabat-pejabat yang tidak ada manfaatnya.

Kembali ke masalah berita tadi. Momen ketika pertama kali melihat berita ini saya langsung merasakan empati yang mendalam terhadap keluarga korban. Seketika saya membayangkan apa perasaan saya jika menjadi keluarga korban? Dan lebih dalam lagi bagaimana jika seandainya saya yang menjadi korban?

Kematian adalah hal yang sangat istimewa dalam kehidupan. Istimewanya, kematian adalah pintu satu arah. Setiap manusia hanya bisa masuk satu kali dan tidak bisa kembali lagi. Jika orang meninggal bisa kembali lagi, tak perlu ada histeria yang biasa terjadi. Tidak ada orang yang perlu takut mati. Sehingga orang bisa berbuat seenaknya saja toh jika pun mereka masuk pintu kematian, ia bisa kembali lagi setiap waktu. Namun faktanya tidak seperti itu. Orang yang meninggal akan pergi selamanya dari dunia. Perpisahan itu menyakitkan. Apalagi jika perpisahan selamanya dari orang yang kita cinta, saat kita ditinggal atau kita yang meninggalkan. Kematian akan lebih menyakitkan bila terjadi secara tragis dan mendadak. Oleh karena itu doa yang harus selalu tak lepas kita ucap adalah untuk bisa meninggal khusnul khatimah.

Mari kita membayangkan sebuah skenario. Bayangkan seseorang yang biasanya ada namun kini tidak ada lagi. Padahal di kamarnya masih tertinggal banyak kenangannya. Tempat tidurnya yang masih belum dirapihkan. Baju-baju bekas dengan baunya masih tergantung di pintu kamar. Padahal mungkin satu hari sebelumnya kita masih bercengkrama dengannya. Pagi harinya ia masih berpamitan pergi dari rumah.

Sebaliknya juga bayangkan ketika suatu pagi kita bangun. Dengan tenang kita merasa bahwa pasti bertemu sore. Namun ternyata ajal kita ada di siang hari dan kita tak pernah bertemu sore. Dan saat mati kita hanya bisa menyesali hal-hal yang pernah dan belum dilakukan.

Mati itu bisa datang kapan saja. Tak peduli sedang naik pesawat atau bahkan saat diam di rumah sekalipun. Berhubung kematian adalah pintu satu arah tentunya kita harus menyiapkan bekal sebanyak mungkin untuk memasuki pintu itu pada waktu yang tak pernah seorang pun tahu. Bisa beberapa puluh tahun lagi atau bahkan besok. Tak ada yang pernah tahu. Semoga jika pun ajal datang, kita dijemput dengan cara yang baik dan kondisi yang siap.