Review Tere Liye Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Kisah cinta yang indah tak harus berseting di Paris yang menawan atau di Amsterdam yang tenang atau tidak juga melulu harus di Venice yang romantis. Kisah cinta indah pun bisa terjadi pinggir Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Tak perlu diperani oleh pujangga atau pangeran, penarik perahu pun bisa jatuh cinta. Cinta yang bahkan lebih tulus, indah dan mengesankan. Ini adalah kisah Antara kau, aku dan sepucuk angpau merah.

Ini adalah novel cinta paling menyenangkan untuk dibaca dalam beberapa tahun terakhir untuk saya. Di banyak set dalam novel ini, saya tersenyum-senyum sendiri seperti anak baru akil balig. Dari tiga buku Tere Liye yang pernah saya baca ini adalah yang terbaik. Untuk kesekian kalinya Tere Liye selalu mengangkat cerita dari sudut pandang yang tidak jamak. Kali ini dari sudut pandang penarik perahu sederhana tapi selalu berusaha jujur dan tak pernah menyerah mengejar mimpinya dan juga cintanya.

Saya membaca novel ini sekali jalan, sekitar 4 jam hingga selesai. Awalnya saya hanya berniat membaca beberapa lembar sebelum tidur 2 hari yang lalu. Saat itu saya mulai membaca jam 10 malam. Pada akhirnya malam itu saya baru tidur jam 2.30 pagi setelah menghela nafas saat tamat membaca novel tersebut. Tere Liye berhasil menyihir saya malam itu.

Ada kekuatan utama yang membuat saya bertahan dan bahkan ketagihan untuk membaca hingga usai. Hal tersebut adalah misteri yang sengaja dibiarkan menggantung hingga baru terjawab di akhir cerita. Tere Liye membuat kita penasaran dari awal mengenai jawaban dari pertanyaan dan asumsi yang menggantung. Kekuatan kedua adalah novel tersebut menggambarkan latar cerita dengan sangat nyata. Deskripsinya sangat fotografis. Saya seakan seperti merasa berada di Pontianak diantara aliran sungai Kapuas sepanjang membaca cerita. Novel ini pun banyak menawarkan humor yang mengesankan. Bagaimana tidak, cerita dibuka dengan kepenasaran Borno (si tokoh utama), mengenai berapa lama waktu yang dibutuhkan kotoran manusia untuk hanyut dari hulu hingga muara Sungai Kapuas. Novel pun tidak melulu bercerita tentang kisah pelakon utama namun juga banyak figur-figur lain yang memberi kontribusi positif terhadap cerita. Figur-figur itu pun hidup dengan segala kedinamisan karakter dan peran tak sekedar menjadi wayang mati yang melakoni cerita.

Kau, aku dan sepucuk angpau merah ini nyaris semparna. Tak ada plot yang bolong dan seperti yang sudah dituliskan di atas ceritanya terasa sangat hidup. Namun ada satu kekurangan utama dari cerita ini. Menurut saya, inti permasalahan yang menjadi cikal bakal inti dan klimaks cerita sangat lemah dan agak kurang logis. Don’t make sense. Apakah inti cerita tersebut? Tentunya tak akan saya uraikan di sini sebab apalah arti membaca novelnya jika sudah tahu spoilernya. Bagaimanapun, meski inti ceritanya tadi agak kurang kuat, saya sebenarnya tak terlalu peduli. Siapa yang perduli logika bila bisa mendapatkan pelajaran moral mengesankan dari pemimpi yang punya cinta yang tulus.

Membaca Edensor membuat saya ingin ke Inggris. Ranah tiga warna membuat saya ingin ke kanada. Membaca novel ini membuat saya ingin ke Pontianak. Namun indahnya cerita adalah meski kita belum pernah ke sana setidaknya kita sudah pernah dibawa untuk merasa di sana.

Review Singkat: Tere – Liye Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

1376124Saya baru membaca dua novel Tere Liye. Yang pertama adalah Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Yang kedua, hari ini saya menyelesaikan Rembulan tenggelam di wajahmu. Entah apakah hanya kebetulan atau memang novel-novel Tere Liye yang lain pun demikian, dua novel pertama ini membawa ide dasar yang sama. Mobilitas sosial seorang manusia dari bukan siapa-siapa menjadi orang yang luar biasa hebat mapan dalam strata sosial. Novel yang pertama tentang pengamen jalanan yang kemudian menjadi wanita karir mapan. Novel yang kedua tentang yatim piatu yang juga berawal dari pengamen jalanan kemudian menjadi taipan bisnis raksasa.

Dengan menyelesaikan buku hanya dalam beberapa jam saja adalah salah satu identifikasi bahwa saya cukup menikmati novel ini. Tere Liye memang cenderung mengangangkat topik yang tidak umum dan juga dari sudut pandang yang tidak umum. Awalnya dulu saya menyangka novel Tere Liye akan sangat islami, karena sosok penulisnya yang nampak seperti tipikal ikhwan (terlepas dari namanya yang sepertinya nama pena perempuan, Tere Liye adalah nama pena laki-laki). Namun menariknya asumsi saya salah, cerita tidak harus bernuansa terlalu religi namun banyak pesan moral bermanfaat yang diselipkan di sana sini dengan kadar yang cukup tepat.

Rembulan tenggelam di wajahmu bercerita tentang kisah Ray, seorang pria tua yang sepanjang hidupnya kebanyakan mendirita berkesempatan menjelajah kembali masa lalunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkutat pada mengapa hidup tidak adil padanya. Dalam setiap waktu iya mempertanyakan ia selalu melihat bulan. Saya tidak akan membahas detail inti cerita agar tidak mengusik pembaca yang belum melihat buku ini. Satu pesan yang cukup berkesan dari kisah Ray adalah bahwa dalam adilnya hidup tidak bisa terlihat secara dangkal. Sesuatu yang terlihat sekilas tidak adil bisa jadi salah. Tuhan sudah mengatur setiap detil aspek kehidupan manusia dengan cermat. Tuhan Maha Adil dan tidak ada hal sekecil apa pun yang terlepas dari hukum ini. Hal yang menarik bahwa hidup takdir hidup kita terkadang saling berkait dengan takdir hidup orang lain. Ketika kita berbuat baik pada orang lain, bisa jadi aksi kita tersebut akan berdampak berantai melalui orang-orang lain dan akhirnya mengembalikan kebaikannya ke kita. Lebih jelasnya langsung dapat dilihat dalam petikan dari novel ini:

“Bagi manusia, hidup itu juga sebab-akibat, Ray. Bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu…. Saling mempengaruhi, saling berinteraksi…. Sungguh kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin, lingkar-melingkar. Indah. Sungguh indah. Sama sekali tidak rumit.”

Kesimpulannya saya memberi 3 dari 5 bintang untuk novel ini. Kisahnya menarik, tentang pencarian dibumbui dengan percintaan yang menarik dan banyak pesan moral yang bermanfaat. Namun saya merasa ceritanya terlalu suram. Terlalu banyak penderitaan yang berlebihan. Lalu ada beberapa plot yang terasa dipaksakan. Misalnya seperti ditemukannya emas di ladang minyak. Ada lagi satu plot lain yang terasa sangat dipaksakan namun tidak akan saya bahas karena akan menjadi spoiler. Namun tetap secara umum, novel ini cukup memberi inspirasi. Minimal untuk selalu berbuat baik pada orang lain.

Cover dari goodreads.com