Setiap negara biasanya memiliki spesialisasi SDM unggul di bidang-bidang tertentu. Contoh pertama Jepang. Negara ini memiliki penguasaaan teknologi yang sangat tinggi. Penguasaan teknologi Jepang berpusat pada bidang industri elektronik dan otomotif. Siapa yang tidak tahu Sony, Honda, Yamaha, Mitsubishi, Fujitec dan sebagainya. Wujud-wujud real dari produk-produk teknologi tersebut sangat menggambarkan kualitas SDM mereka di bidang teknologi.
Kedua Israel. Konon sebagian besar ilmuan paling jenius di dunia ada di negara kontroversial ini. Dari banyak penguasaan teknologi, Israel sangat unggul di bidang teknologi persenjataan. Mulai dari persenjataan biologis hingga nuklir. Bukanlah hal yang menyenangkan dan tidak patut dikagumi. Namun fakta yang ada memang demikian adanya. Israel memiliki banyak sekali SDM-SDM yang menguasai teknologi persenjataan.
Ketiga, India. Beberapa tahun lalu saat menyebut India, orang akan berasosiasi ke film-film Bolywood dengan tarian-tarian dan pusar wanitanya. Namun sekarang ada impresi lain yang bangkit ketika mendengar kata India. India bangkit cepat dalam beberapa dekade terakhir. Mereka mulai bergerak membangun industri otomotif (ingat Bajaj, Tata) yang mulai mencoba merambah pasar dunia. Tidak ketinggalan mereka pun benar-benar memberikan perhatian yang khusus untuk perkembangan teknologi dan sains. Jika sesekali berjalan-jalan ke toko buku atau melihat-lihat katalog buku di amazone.com, banyak sekali buku-buku teknologi dan sains yang ditulis oleh orang India. Mulai dari buku-buku teknik elektronika, telekomunikasi, elektromagnetika, dan lain sebagainya. Hal ini cukup menggambarkan bahwa sangat banyak sekali SDM-SDM india dengan penguasaan teknologi yang sangat baik.
Masih berbicara tentang India. Satu fenomena penguasaan teknologi yang lain oleh SDM-SDM di negara ini ada pada bidang teknologi informasi. Banyak sekali perusahaan-perusahaan IT kelas dunia yang membuka research center di negara ini, diantaranya Microsoft. Banyak juga pekerjaan-pekerjaan di bidang IT di seluruh dunia yang di-outsource-kan oleh pekerja-pekerja India. Tentu saja hal ini bisa tercapai dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini dimana perusahaan di satu negara bisa mengambil pekerja outsource di negara lain melalui komunikasi internet. Misalnya perusahaan amerika mengambil programmer-programmer India sebagai pekerja outsourcing dalam proyek perangkat lunak. Itu semua menggambarkan betapa banyaknya SDM-SDM berkualitas pada bidang IT di India.
Selain ketiga negara tadi tentu saja ada asosiasi-asosiasi khusus yang terlintas di kepala saat mendengan nama suatu negara berkaitan dengan SDM di negara tersebut. Mendengar Argentina atau Brazil, kita akan mengingat pesepak bola handal. Mendengar Prancis dan Italia kita akan teringat seni dan fashion. Mendengar Indonesia? Paragraf berikut akan membahasnya.
Saat mengingat Indonesia dalam hal penguasaaan teknologi dan SDM, akan mengingatkan saya pada hal-hal berikut: pak ogah, calo, tukang parkir dan pengamen. Loh, maksudnya apa? Ya 4 profesi itulah yang sangat berkembang pesat di Indonesia.
Pak Ogah (polisi cepek) akan sering terlihat di perempatan jalan, persimpangan jalan dan di putaran U (U turn). Tugasnya adalah memastikan mobil dapat melintas perempatan atau persimpangan atau akan mengambil putaran di jalan. Pada dasarnya pengendara mobil tidaklah membutuhkan Pak Ogah jika mereka terbiasa berkendara dengan tertib. Tapi ini Indonesia, negara di mana 99 persen pengendara kendaraan di jalan tidak bisa berkendara. Buktinya sebagian besar dari mereka tidak pernah mau mengalahdan berkendara dengan tidak tertib. Kondisi ini yang diambil Pak Ogah tadi dengan menawarkan jasa dari ketidaktertiban pengendara mobil itu sendiri. Free of charge? Tentu saja tidak. Paling tidak beberapa keping recehan (karena itu disebut polisi cepek atau pak ogah seperti tokoh di serial si unyil yang selalu meminta imbalan setiap membantu) harus siapkan pengendara mobil untuk menggunakan jasa Pak Ogah. Berbeda dengan penyedia jasa lain, jasa Pak Ogah sulit ditolak, sehingga jasa Pak Ogah sering digunakan karena terpaksa.
Berikutnya adalah calo. Secara terminologi calo berarti perantara dalam perdagangan antara penjual dan pembeli. Bahasa kerennya adalah broker. Dalam jual beli tanah, calo sering disebut biong. Pada konteks tulisan ini calo yang dimaksud adalah calo angkutan umum. Jadi tugasnya menjadi perantara antara penumpang dan pengemudi angkutan umum. Tugasnya mencarikan atau memanggil-manggil penumpang di terminal atau di setiap tempat pemberhentian angkutan umum. Keuntungan dari kehadiran calo sebenarnya hampir tidak ada. Saya yakin sebagaian besar penumpang angkutan umum yang akan berangkat ke suatu tempat bisa naik angkutan umum tanpa bantuan calo sekalipun. Pada kebanyakan kondisi, kehadiran calo lebih sering mengganggu daripada menguntungkan. Yang paling utama kehadiran calo menggerus pendapat supir angkutan umum. Bayangkan saja, saat ini di setiap tempat pemberhentian mobil selalu ada calo. Dengan hanya berkoar-koar menyebut trayek tujuan angkutan umum dan memanggil-manggil penumpang (misalnya, “Blok M… Blok M …) seakan-akan calo yang telah membuat penumpang mau naik. Dalam setiap pemberhentian tersebut supir pun harus mengeluarkan uang untuk membayar “jasa” calo yang ukurannya tidak kecil untuk ukuran penghasilan supir karena sifatnya yang kumulatif (ada calo di setiap tempat, harus bayar di setiap tempat). Penumpang pun secara umum tidak akan merasa nyaman dengan kehadiran calo. Ingin bukti? Coba saja saat waktu libur berjalan-jalan ke Terminal Kampung Rambutan di bagian terminal antar kota. Baru saja masuk sedikit, anda akan langsung ditarik-tarik dan ditanya secara kasar tujuan anda mau kemana dan dipaksa menggunakan bis tertentu.
Berikutnya adalah tukang parkir. Jasa parkir baik resmi atau pun yang liar adalah salah satu contoh sistem jasa yang tidak fair. Pengguna jasa harus mengeluarkan biaya parkir yang tidak murah, namun penyedia jasa tidak pernah mau sedikit pun mengganti kerugian atau kerusakan kendaraan yang dititipkan (ini tertera pada setiap karcis layanan parkir resmi). Untuk keberadaan parkir resmi sepertinya tidak telalu memusingkan karena layanan yang lebih terkoordinasi, seperti di perkantoran atau di pusat perbelanjaan. Yang mengganggu adalah jasa parkir liar. Mereka hadir di tempat-tempat yang sebetulnya tidak memerlukan jasa mereka. Di depan mini market (padahal jelas-jelas ada tulisan di tembok “parkir gratis”), di tempat makan dan tempat-tempat lain. Untuk pengendara mobil tukang parkir akan sibuk sok-sok-an memberi panduan pemarkiran mobil, meniup-niup peluit. Pada pengendara motor meraka akan sok sibuk juga membantu menarik motor keluar meskipun padahal tidak ada jasa dari mereka yang kita perlukan.
Berikutnya adalah pengamen. Akan selalu di jumpai di bis kota hampir setiap hari dan setiap saat. Jasa mereka (menurut klaim mereka) adalah menghibur penumpang yang kebosanan di perjalanan. Fakta: kehadiran pengamen membuat penumpang semakin bosan dan tidak nyaman. Hal-hal yang mengganggu dari pengamen: pertama mengganggu waktu istirahat penumpang, membuat kebisingan di bis dengan nyanyian tidak jelas yang mereka sebut dengan seni. Kedua, membuat bis sempit dan tidak nyaman. Ketiga selalu mengeluarkan slogan-slogan atau pernyataan yang menggelikan. Misalnya di bagian penutup mereka hampir pasti akan selalu berkata “semoga dari depan ke belakang masih ada penumpang dengan “jiwa sosial”-nya yang masih mau berbagi … bla … bla …”. Terminologi baru pertama: jiwa sosial. Definisi: (versi pengamen) orang yang berjiwa sosial adalah orang yang selalu memberi uang pada pengamen. Contoh yang lain: “seribu dua ribu tidak akan membuat anda jatuh miskin … bla… bla…” Yang lain lagi: “kami doakan untuk yang memberi dapat masuk surga. Untuk yang tidak memberi … masuk surga juga tapi belakangan.”
Tulisan ini saya buat bukan untuk mengundang kontroversi. Saya juga sadar bahwa tidak semua orang dilahirkan dalam keadaan beruntung dan dapat memilih untuk menjadi apa. Kemiskinan dan keterbatasan adalah realita yang jamak di Indonesi. Tapi saya juga yakin menjadi pak ogah, calo, tukang parkir bukanlah pilihan akhir. Selalu ada kemungkinan untuk memilih pekerjaan yang lebih berharga, lebih bermanfaat dan tidak mengganggu orang lain. Itu hanya dapat dicapai dengan usaha keras dan kemauan yang kuat. Hal tersebut juga selalu sangat mungkin apalagi melihat sebagian besar “profesional-profesiaonal” di empat bidang tadi adalah orang-orang yang masih muda dan dapat mengambil pekerjaan yang lebih bermanfaat daripada terus melakukan profesi yang mereka dengan alasan tidak ada pekerjaan lain. Sebagai contoh, saya lebih menghormati pedagang asongan atau tukang koran daripada pengamen. Effort tukang koran dan pedagang asongan lebih nyata. Untuk mendapat sedikit saja, mereka harus turun naik bis, menggotong-gotong barang dan mengejar target menjual sebanyak mungkin barang. Tukang koran dan pedagang asongan turut berkonstribusi memutar roda perekonomian meski dalan skala mikro. Membeli stok baru kemudian menjual lagi.
Ada beberapa dampak buruk dari pembiaran kondisi ini. Yang paling nyata, semakin banyak orang yang kehabisan kreativitas dan mengambil jalan akhir untuk menjadi pak ogah, calo, tukang parkir atau pengamen dengan alasan tidak ada pekerjaan lain. Ini sudah terlihat jelas indikasinya saat ini. Di bis kota setiap selesai “pentas” satu pengamen, pengamen berikut akan langsung naik melanjutkan pentas. Di setiap pemberhentian angkutan umum, hampir pasti ada calo. Di setiap petak pinggir jalan, hampir pasti ada tukang parikr. Di setiap putaran hampir pasti ada pak ogah. Lama-lama negara ini bisa-bisa mejadi negara calo, negara pak ogah, negara pengamen atau negara tukang parkir. Bila demikian entah kapan kita bisa memiliki orang-orang dengan penguasaan teknologi canggih seperti orang Jepang, memiliki orang-orang dengan kemampuan penguasaan teknologi persenjataan seprti Israel, memiliki pakar-pakar IT handal seperti India, memiliki desainer dan seniman kelas dunia seperti orang Prancis atau Italia?
Saya bukan antropolog, saya bukan sosiolog. Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud menyerang atau merendahkan siapa pun. Ini hanyalah satu bentuk keprihatinan dan renungan dari fakta-fakta yang saya saksikan setiap hari di dunia ini. Semoga dari renungan ini dapat keluar aksi sekecil apapun yang dapat memperbaiki apa-apa yang tidak baik.