Review Film Merah Putih

merah-putihSetelah Isya tadi tiba-tiba pikiran aku suntuk berat. Sebenarnya sih berbicara suntuk, itu sudah kronis terjadi dalam bulan-bulan terakhir ini. Stress berat, jenuh parah, suntuk, kelam, gelap, bosan, passionless. Dengan pikiran kacau balau, akhirnya aku mencoba mengurangi rasa suntuk tersebut. Aku keluarkan Marunochan (my red motorbike) dari rumah. Pake jaket rombeng-rombeng kesukaanku, kaos hijau belel, celana pendek seadanya, kaus kaki biar ga dingin, sendal jepit, slayer hitam dan helm merah, aku pun langsung meluncur 28 Km ke arah utara Jonggol dengan destinasi Cibubur Junction. Agendanya mencari keramaian, sambil nonton film Merah Putih. Hitung-hitung turut merayakan kemerdekaan Indonesia yang jatuh hari ini (sekarang sudah 17 Agustus 2009 01.01 AM).

Selang 45 menit, dengan kecepatan rata-rata 60 Km/jam dan kisaran rpm mesin di putaran 7000 aku sampai di Cibubur Junction. Langsung masuk parkiran, mampir ke ATM sebentar menghisap lembaran merah berfoto Soekarno Hatta lalu lanjut ke lift menuju lantai 2 tempat bioskop 21 berada. Berikutnya ke tempat tiket langsung mengambil tempat duduk tengah paling belakang untuk jam tayang 21.25. Sesudah itu duduk sebentar, ke toilet, kembali duduk, memandangi sekitar (masih merasa geli dengan seragam pegawai perempuan 21 yang berok panjang namun belahannya lebih panjang lagi), membeli pepsi dan akhirnya masuk teater.

Oke berikut adalah review singkat dari filmnya. Seperti judulnya Merah Putih berkisah tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kehadirannya mencoba menjawab kerinduan penonton Indonesia akan film perang. Bagaimana tidak bosan jika tiap waktu terus saja disuguhi kalau tidak pocong ya setan, ya kuntilanak, ya kuburan. Basi. Dari gembar-gembornya Merah Putih mendatangkan berbagai kru film import, terutama untuk spesial effect peperangan.

Pada bagian awal film, entah bertujuan apa, Merah Putih menceritakan diskriminasi calon tentara di pendidikan tentara rakyat Indonesia. Pertama adalah Thomas, seorang kristen dari sulawesi yang menaruh dendam pada Belanda setelah keluarganya dibantai. Kedua adalah Dayan (kalo ga salah) seorang Hindu dari Bali. Mereka berdua agak “dibedakan” dari yang lain. Marius (Darius Sinatria hadir sebagai orang yang sok priyayi (namun ternyata pengecut) dan tidak suka dengan kehadiran Thomas. Mungkin mencoba mengangkat tema multikulturalisme film ini mengangkat topik diskriminasi minoritas tadi dengan porsi yang saya pikir agak berlebihan. Tokoh utama lain adalah Lukman Sardi sebagai Letnan Amir, seorang guru yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi pejuang pembela kemerdekaan. Tokoh berikutnya adalah Santoso (sepertinya namanya bukan ini) sahabat dekat Marius. Selain topik spesifik diskriminasi minoritas, bagian awal film juga menggambarkan proses pelatihan di Sekolah Tentara Rakyat Indonesia.

Di malam wisuda sekolah tentara (jika boleh dikatakan begitu) diadakan semacam prom night. Ada nyanyian dan dansa. Datanglah istri Amir, juga kakak dari Santoso yang bernama Senja. Di tengah keasikan pesta, sekonyong-konyong terjadi serangan Belanda. Agak aneh sebetulnya. Cerita lalu bergeser dengan ganjil pada settingan perang tengah hutan. Tentara Indonesia tumbang satu persatu di dalam hutan. Santoso adik dari Senja turut tewas dalam serangan ini. Pada akhirnya hanya bersisa sedikit tentara yang bergerak mundur dari kepungan Belanda.

Pagi harinya tentara-tentara yang tersisa telah mundur ke sungai. Terjadi sedikit pertempuran kecil di sungai. Sebuah potongan cerita menggelikan terjadi kembali di sini. Dalam baku tembak Belanda melawan pejuang beberapa pejuang mati. Lukman Sardi kemudian menyelipkan granat di salah satu tubuh pejuang dengan tujuan yang sudah dapat dibaca. Para pejuang kembali bergerak mundur. Kemudian para Belanda, entah mengapa, sengaja membalik mayat pejuang yang telah diselipi granat. Mayat terjatuh dan granat terlepas, kaboooomm meledaklah semuanya.

Settingan berikutnya adalah sebuah desa. Para pejuang meminta penduduk untuk mengungsi namun penduduk menolak karena tidak bisa meninggalkan barang-barang mereka. Pejuang akhirnya menyerah membujuk dan kembali bergerak mundur ke hutan. Tak lama Belanda datang ke desa. Semua penduduk desa kemudian dibantai.

Settingan terakhir adalah setelah bersembunyi sejenak di hutan, para pejuang kembali ke desa yang telah hangus terbakar. Sebuah strategi untuk menjebak Belanda pun dibangun. Karena sedikit tentara yang tersisa, para tentara memutuskan merekrut warga desa yang masih hidup (agak maksa). Strategi menjebak Belanda dilakukan di sebuah jembatan di mana Belanda akan lewat. Para warga desa langsung dibekali senjata dan dilatih sesaat. Agak kurang logis juga, bagaimana mungkin seorang anak kecil dilatih senjata sebentar langsung bisa menembak jitu. Setelah proses training dan persiapan penyergapan selesai (timing yang benar-benar pas, arak-arakan Belanda tiba di tempat penyergapan. Tentara Belanda langsung kocar-kacir diserang sisa 5 tentara Indonesia dibantu dengan sekitar belasan warga pribumi. Pertempuran memang tergambar cukup sengit (sekaligus menggelikan). Truk-truk diledakan, peluru-peluru berhamburan. Tanpa ada serangan balasan yang berarti akhirnya prajurit Indonesia menang, menyisakan tawanan beberapa tentara Belanda yang masih hidup. Tanpa banyak ba bi bu, tiba setelah adegan itu film pun usai. Hmmm.. Film Indonesia. Barangkali masih ada sekuelnya nanti. Skor pribadi 2 dari 5 bintang.

Sebenarnya post ini tidak sama sekali bertujuan untuk mengkritik film Merah Putih. Upaya tim kreator untuk menyajikan film perjuangan dalam menyambut HUT kemerdekaan RI patut diacungi jempol. Saya pun sadar, membuat film perang adalah sangat kompleks. Akan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Properti, kostum dan pemain yang jumlahnya cukup banyak. Semoga saja, setelah ini akan ada film-film lain yang lebih berkualitas cerita dan penggarapannya. Sehingga layar-layar bioskop Indonesia tidak sekedar selalu dipenuhi dengan pocong, setan atau kuntilanak saja.

Epilog, setelah nonton saya langsung cabut pulang. Kembali ke ATM menghisal 100 ribuan lagi. Bayar parkir lalu riding santai ke arah rumah. Malam yang indah, meski saya sejujurnya agak merasa kesepian. Hehehe… Ending post yang ga nyambung.

Tinggalkan komentar