Empat Malam di Amsterdam

Saat pertama kali ke Amsterdam saya terheran, bagaimana mungkin negara sekecil Belanda bisa menjajah kita sedemikian lamanya? Apakah mungkin hidup di iklim yang dingin dan hasrat mencari rempah-rempah merupakan faktor pendorong yang kuat? Entahlah karena itu adalah bagian dari sejarah yang belum terlalu saya kuasai. Yang pasti saat kedua kalinya sampai di Amsterdam saya merasa dekat dengan Belanda.

Istri pun saya berseloroh, “Dekat apanya? Yang satu hidungnya mancung.” Sambil menunjuk orang Belanda. “Yang ini hidungnya pesek.” Sambil menunjuk saya. “Orang Belandanya tinggi-tinggi dan orang Indonesia banyak yang pendek-pendek.” Mungkin kurang gizi di masa pertumbuhan seperti saya ini. Saya pun terbahak-bahak mendengar komentar tersebut. Bagaimanapun 2-6 Februari kami di Amsterdam adalah pengalaman yang mengesankan.

2 Februari: Dari Brussels ke Amsterdam

Mendarat di Amsterdam Centraal

Kami berangkat dari stasiun Bruxelles-Midi di Brussels sekitar jam 8 malam, lalu ganti kereta di Rotterdam sekitar jam 10 malam yang akan menghantarkan kami hingga stasiun utama Amsterdam, Amsterdam Central sekitar jam 10.30 malam. Lama perjalanan total adalah 2 jam dan 30 menit. Awalnya saya sempat khawatir masalah transfer di Rotterdam. Sebab waktu transfernya hanya 2 menit. Bagaimana jika ternyata transfernya harus berganti platform yang berjauhan? Apalagi kami membawa satu tas yang cukup besar. Faktanya ternyata transfer kereta hanya menyebrang platform yang bersebelahan tanpa harus naik atau turun tangga. Harga tiket yang kami bayarkan adalah 29.50 euro per orang.

Kami tiba di Amsterdam hampir tengah malam. Berhubung sudah pernah ke sini saya sudah tak perlu mencari-cari jalan lagi. Keluar kereta kemudian langsung keluar platform dan mencari mesin tiket otomatis untuk isi ulang kartu publik transport istri saya, Indri. Belanda menggunakan smart card bernama OV-ChipKaart untuk public transportnya. OV-ChipKart ini bisa digunakan di semua mode transportasi. OV-ChipKaart saya sendiri ternyata masih ada saldo hampir 20 Euro sisa jalan-jalan beberapa bulan sebelumnya.

Ibis Budget di Zaandam

Setelah isi ulang kartu kami langsung keluar Amsterdam Central menuju bus terminal. Di depan Amsterdam Central ada stop untuk tram dan bus. Selama di Amsterdam kami menginap di Hotel Ibis Budget. Tolong digaris bawahi, ditebali dan diberi stabilo kata-kata budget di belakang nama hotel tadi. Berhubung kami ingin jalan-jalan ekonomis maka semua pengeluaran harus ditekan hingga batas paling minimum. Sebagian besar hotel di pusat Amsterdam adalah sangat mahal. Akhirnya setelah membandingkan sana-sini pilihan terbaik jatuh ke Ibis Budget tadi yang berharga sekitar 40 Euro satu malam. Lebih murah berpuluh-puluh Euro dibandingkan hotel-hotel di pusat kota. Namun harga yang lebih murah itu harus ditebus dengan lokasinya yang di Amsterdam coret alis sedikit keluar dari Amsterdam. Ibis budget ada di daerah yang bernama Zaandam yang berjarak sekitar 25 menit perjalanan dari Amsterdam Central menggunakan bus.

Dari Amsterdam Central, kami menggunkan bus Connexion nomor 391. Connexion adalah salah satu provider bus dalam kota di Amsterdam. Kami sudah memeriksa bahwa bus ini ada hingga cukup tengah malam dan frekuensi sekitar 3 hingga 4 kali dalam satu jam. Satu hal yang sangat saya suka dari public transport di Eropa adalah bahwa mereka punya timetable yang berusaha dipatuhi dengan sangat akurat. Bahkan di Asia Tenggara, negara sekelas Singapura sekalipun busnya belum memiliki timetable.

Keluar dari stasiun kami menunggu tidak terlalu lama hingga busnya datang. Saat bus datang dan sebelum naik, saya memastikan ke supir bahwa bus tersebut berhenti di stop yang sudah saya tandai untuk menuju hotel. Amsterdam adalah kota yang sangat internasional. Meski bahasa resmi Belanda adalah bahasa Belanda, namun sebagian besar orang di sana bisa bahasa Inggris. Bahkan sapaan bahasa Indonesia bukanlah hal yang jarang dijumpai.

Connexion 391

Kembali ke bus, bus di Amsterdam adalah sangat modern. Sebelum naik kita mendekatkan OV-ChipKart ke depan card reader di pintu masuk bus. Sebelum turun jangan lupa mendekatkan lagi smartcard ke card reader. Apabila ada penumpang yang tidak memvalidasi kartunya saat naik entah karena lupa atau sengaja, bisa jadi di tengah jalan akan ada petugas yang memeriksa dan bisa jadi penumpang ilegal semacam itu akan didenda. Akhirnya benar, di tengah jalan ada sekitar 3 petugas yang naik ke bus untuk memeriksa smartcard setiap penumpang. Selain menggunakan OV-Chipkaart kita pun bisa membayar menggunakan uang tunai. Tapi harganya akan jauh lebih mahal. Selain sistem pembayaran yang sangat nyaman, di tengah bus ada display yang sangat besar berisi berbagai informasi relevan. Mulai dari jam, suhu hingga daftar stop yang akan dilewati dan stop berikutnya di mana bus akan berhenti. Jadi jika dengan informasi selengkap itu masih nyasar juga berarti ada yang salah dengan diri kita.

Panel Informasi di Dalam Bus

Setelah sekitar 25 menit melewati berbagai kegelapan di pinggiran kota Amsterdam akhirnya kami tiba di stop dekat hotel. Dari stop bus kami berjalan sedikit hingga akhirnya tiba di lobi nyari lewat tengah malam. Salah satu keuntungan menginap di chain hotel terkenal semacam Ibis meskipun ada kata “Budget” adalah kualitas layanan yang seharusnya cukup bisa diandalkan. Alhamdulillah faktanya seperti itu. Kamarnya cukup nyaman dan luas. Memang tak ada bathtub di kamar mandi tapi tetap cukup fungsional. Lucunya toilet dan bilik shower diletakan terpisah. Sesampai kamar kami langsung istirahat.

3 Februari: City Center

Regional Ticket dan ov-chipkaart

Morning Zaandam. Berhubung ini adalah hotel budget maka tak ada sarapan gratis. Pagi itu kami langsung keluar menuju pusat kota. Tujuan pertama adalah ke kantor layanan turis tepat di depan Amsterdam Central. Kami membeli tiket regional 24 jam untuk perjalanan esok hari. Tiket regional 24 jam adalah tiket bisa digunakan selama 24 jam sejak pertama kali dipakai dan berlaku di Amsterdam dan beberapa region di sekitar Amsterdam. Harganya 13.5 Euro. Ada juga tiket 24 jam Amsterdam seharga 7.5 Euro. Namun tiket ini hanya bisa dipakai di seputaran Amsterdam city center saja.

Kebab Deui Kebab Deui

Setelah beli tiket langsung ke tempat pertama yaitu resto kebab. Bagi yang berencana pergi ke Eropa dan punya perhatian masalah kehalalan makanan maka biasanya kebab adalah pilihan yang cukup bisa diandalkan selain menu ikan atau vegetarian. Meski memang sih setiap hari makan kebab agak membuat muak juga. Seperti yang sudah terjadi pada istri saya yang sudah bosan makan kebab. Bagi saya pribadi, selama ada pilihan halal, makan daging yang tidak jelas metode penyembelihannya bukanlah pilihan. Sebab makan tidak menjadi halal hanya dengan membaca bismillah sebelum menyuap.

Dam Square

Setelah makan kami langsung menuju Dam Square, sebuah square terkenal di Amsterdam. Kami berjalan kaki menuju ke sana. Atraksi terkenal di Dam Square adalam Madam Tussaud yang berisi patung-patung lilin figur-figur terkenal dengan dimensi sesuai aslinya. Dari balik kaca museum terlihat DJ Tiesto versi patung yang sedang bermain turntable. Sayang sekali karena harga tiket yang cukup mahal bagi kami membuat kami urung masuk ke dalam. Dam Square sendiri sangat ramai dengan turis bahkan di musim dingin seperti ini. Lucunya musim dingin kali ini Amsterdam belum bersalju sedikit pun meski suhu tetap cukup dingin.

Hal yang saya sukai dari suasana kebanyakan lapangan-lapangan terbuka adalah banyaknya burung merpati. Di Dam Square bukan pemandangan aneh melihat anak kecil yang berlari-lari mengejar merpati.

Dari Dam Square, seperti kata lagu kami berjalan tak tentu arah hingga akhirnya sampai di Rijksmuseum . Oleh karena alasan budget kami kembali tidak masuk ke dalam museum ini namun hanya berfoto-foto di tulisan besar Iamsterdam di depan museum. Iamsterdam adalah tagline promosi pariwisata kota Amsterdam.

Iamsterdam

Fatih Moskee

Dari museum kami menuju ke masjid di Rozengracht. Nama masjidnya adalah Fatih Moskee. Ini adalah masjid Turki. Meski dari luar terlihat kecil, namun saat di dalam masjidnya ternyata cukup luas. Setelah shalat kami pergi ke sebuah kantor turis untuk membeli tiket canal cruise. Kanal adalah keunikan kota Amsterdam yang membuat kota ini terlihat sangat cantik. Sayangnya saat kami menaiki kapal, terlalu banyak turis dalam satu kapal, sehingga kami jadi kurang menikmati suasananya.

Bagian Dalam Fatih Moskee

Selesai canal cruise kami makan malam di sebuah Restoran Indonesia halal yang saya ketahui dari kunjungan ke Amsterdam sebelumnya. Nama restorannya adalah Iboenda yang berlokasi di The Clercqstraat 65. Makanan yang dijual adalah makanan rumahan. Sekali makan per porsi adalah seharga sekitar 10 euro. Namun 1 porsi tadi adalah sangat banyak sehingga bisa kami makan berdua dan tetap cukup kekenyangan. Selesai makan kami langsung kembali ke hotel.

Resto Iboenda

4 Februari: Eksplorasi Zaandam dan Volendam

Belanda terkenal dengan banyak hal. Pertama adalah dam, lalu kanal-kanalnya yang cantik, kemudian tulip yang menawan, juga red light district dan yang mungkin sangat melekat di benak kebanyakan orang Indonesia adalah kincir anginnya yang khas. Tak pelak jika ini karena si Negara Londo ini sering disebut sebagai Negeri Kincir Angin.

Kincir Angin Zanse Schans

Tak jauh dari Amsterdam, kita bisa melihat kincir angin khas Belanda di area yang bernama Zaanse Schans. Kebetulan lokasi ini tidak jauh dari Zaandam di daerah hotel kami. Dari hotel ke Zaanse Schans cukup sekali naik bus Connexion nomor 391 gratis menggunakan regional pass yang sudah kami beli sebelumnya.

Zaanse Schans adalah semacam museum terbuka. Atraksi utamanya adalah kincir tradisional Belanda. Ada beberapa kincir di tempat ini dengan latar belakang danau dan sungai yang cantik. Selain kincir ada juga workshop sepatu kayu khas Belanda di sini. Kita tidak perlu membayar untuk memasuki area Zaanse Schans. Saya dan istri saya, Indri menghabiskan waktu beberapa jam untuk berkeliling tempat ini.

Sepatu Kayu Raksasa

Mas mas Pengrajin Sepatu

Setelah Zaanse Schans kami menuju ke daerah urban lain yang bernama Volendam. Volendam adalah kota nelayan yang tak jauh dari Amsterdam. Atraksi utama kota ini adalah suasana kota nelayan, restoran seafood dan foto menggunakan kostum nelayan tradisional khas Volendam. Dari Amsterdam Central kita bisa naik bus EBS nomor 118 menuju Volendam. EBS adalah perusahan otobus seperti Connexion. Satu hal yang menarik, armada EBS yang kami naiki memiliki wifi dengan koneksi internet. Pejalanan dari Amsterdam Centraal ke Volendam adalah sekitar 30 menit. Berbeda dengan beberapa bus Connexion dan terminal tram yang ada di bagian depan Amsterdam Centraal, tempat stop bus EBS 118 dan beberapa bus lain ada di bagian belakang stasiun.

Bus EBS Kuning

Sesampai Volendam kami langsung berjalan ke arah pantai. Di bibir pantai banyak restoran dan toko suvenir. Tujuan pertama adalah membuat foto dengan kostum tradisional Volendam. Ada beberapa studio foto yang menawarkan layanan foto kustom tradisional di Volendam. Tempat yang kami pilih mematok biaya 18 Euro untuk satu foto ukuran A4. Laki-laki dan perempuan memiliki satu kostum khas tersendiri. Ada beberapa aksesori yang bisa dipilih juga untuk menyemarakan foto. Saya memilih memegang akordion.

Selesai foto sambil menunggu foto dicetak, kami mencari tempat untuk makan siang. Kami pun menemukan sebuah resto fish and chip. Di resto ini kami sempat di sapa oleh satu pasangan Belanda yang juga tengah pelesir ke Volendam. Mereka bercerita sudah pernah ke Bali dan mengagumi keindahan pantai-pantai di Indonesia. Selesai makan kami kembali ke foto studio untuk mengambil foto lalu berjalan di pinggir pantai yang cukup berangin-angin. Saya menyempatkan shalat di pinggir pantai ini.

Nyifood di Volendam

Setelah itu kami berkeliling lagi sekitaran pantai. Uniknya ada beberapa patung khas di sepanjang pantai Volendam. Setelah semakin sore kami memutuskan kembali ke Amsterdam dan beristirahat di hotel.

Salah Satu Patung di Volendam

5 Februari: Nyasar ke Red Light District

Fish Burger

Pagi hari kami awali dengan sarapan burger ikan di Burger King Amsterdam Centraal. Setelahnya kami berjalan tanpa arah. Lucunya tiba-tiba kami nyasar ke red light district. Area ini adalah area yang berisi beberapa rumah bordir. Di setiap rumah bordir ada semacam etalase bernuansa lampu merah yang memajang wanita-wanita dengan baju sangat minim. Tentu saja wanita-wanita tersebut adalah PSK yang bisa disewa. Mirisnya di Belanda prostitusi adalah legal. Red light district ini justru menjadi salah satu destinasi wisata di Amsterdam.

Kegiatan utama kami di hari ini adalah bersepeda. Amsterdam mungkin adalah kota paling bersahabat untuk pengendara sepeda. Di seluruh bagian Amsterdam dan mungkin bahkan di sebagian besar kota-kota Belanda, ada jalur khusus untuk sepeda. Selain alat transportasi yang bersahabat dengan lingkungan, sepeda adalah bagian erat dari budaya Belanda.

Green Budget Bike

Ada banyak tempat menyewa sepeda untuk turis di Amsterdam. Sayang harganya tidak terlalu murah. Setelah browsing internet saya menemukan vendor bernama Green Budget Bike yang nampaknya menawaran harga paling terjangkau. Kami membayar 6.5 Euro untuk sewa selama 3 jam. Pada faktanya penunggu konter green bike memberikan bonus 1 jam tambahan. Harga tersebut adalah untuk sewa sepeda single speed tanpa rem tangan alias dutch bike. Untuk sepeda dengan gigi dan rem tangan sewanya lebih mahal lagi. Selain lebih murah, Dutch bike adalah pilihan tepat untuk merasakan nuansa seutuhnya bersepeda di Amsterdam. Cara mengerem sepeda Dutch Bike adalah dengan sedikit mendorong pedal sepeda ke arah belakang. Semakin kita tekan maka tingkat pengeremannya akan bertambah. Pada awalnya agak sedikit membutuhkan adaptasi namun setelah sebentar saja membiasakan diri kami langsung mengelilingi beberapa blok di Amsterdam.

Menjelang sore kami berjalan ke arah belakang Amsterdam Centraal dengan tujuan untuk naik feri. Di sini ada terminal feri dengan 3 jurusan menyebrangi kanal besar di belakang stasiun. Jasa penyebrangan ini tidak dipungut biaya alias gratis. Kami naik ke NDSM-werfveer, jurusan yang palng jauh di mana diperlukan waktu sekitar 15 menit untuk menyebrang. Sesampai di sebrang kami menaiki feri yang sama kembali ke Amsterdam Centraal. Memang tidak ada yang terlalu spesial namun tetap cukup menyenangkan untuk merasakan bagaimana orang-orang lokal sana beraktivitas semisal menyebrang menggunakan feri gratis tadi.

Aktifitas naik feri tadi mengakhiri kegiatan utama kami di hari itu.

6 Februari: Flea Market

Ini adalah hari terakhir kami di Amsterdam. Kami checkout hotel sebelum jam 12. Saya sempat meminta ke resepsionis untuk late checkout sampai jam 1 siang untuk Shalat Zuhur dulu namun menurut aturan kami harus membayar ekstra 5 Euro perjam jika ingin late checkout. Kami pun memutuskan untuk checkout sesuai dengan batas waktunya saja.

Locker Tas di Amsterdam Centraal

Setelah dari hotel kami kembali naik bus ke Amsterdam Centraal. Di sini tujuan pertama adalah menitipkan tas carrier kami yang besar agar kami bisa jalan-jalan hingga menunggu penerbangan ke Oslo nanti malam. Untuk kesekian kalinya kami tidak punya tujuan spesifik. Akhirnya kami pun berjalan ke metro station yang berada di kolong Amsterdam Central dan naik random metro yang tengah nangkring. Amsterdam punya 4 metro dengan nomor 50, 51, 53 dan 54. Metro 52 sedang dalam tahap pembangunan dengan ekspektasi selesai baru tahun 2017 nanti.

Kembali ke Metro yang kami naiki, akhirnya kami turun di Nieuwmarkt. Keluar kereta kemudian keluar stasiun metro kami berjalan tak tentu arah lagi, tentunya tampa tersesat dan tak tahu arah jalan pulang (halah). Singkat cerita kami nyangkut di sebuah flea market di sini. Ada berbagai macam barang yang dijual di sini. Mulai dari sepeda, souvenir, pakaian, pajangan, barang antik, gramafon, piringan hitam, DVD porno, buku, prangko dan uang koleksi. Meski cuma berputar-putar di dalam pasar loak ini kami merasa sangat senang melihat berbagai macam barang-barang yang unik.

Flea Market

Selesai dari pasar loak, kami duduk-duduk lagi di pinggir kanal. Lalu kembali lagi ke Restoran Iboenda untuk makan siang. Dari Iboenda iseng naik tram dan turun di Rembrandtplein alias alun-alun Rembrandt yang diambil dari pelukis Londo nan terkenal Rembrandt van Rijn. Dulu Rembrandt tinggal di dekat square ini dari tahun 1639 hingga 1656. Di tengah square berdiri patung Rembrandt yang ada di sana sejak 1876. Di tahun 2006, diletakan kumpulan patung perunggu yang desainnya mengambil suasana dari lukisan Rembrandt paling terkenal, The Night Watch.

Mas Rembrandt dan The Night Watch

Selesai nongkrong-nongkrong di Rembrandtplein, kami kembali ke Amsterdam Central untuk mengambil tas. Dari sana kami langsung ke airport. Schipol, airport utama Belanda dapat dijangkau dengan mudah menggunakan banyak kereta dari Amsterdam Central. Tiket kereta ke bandara sekitar 4 Euro dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.

Si Merah Norwegian Air Shuttle

Stasiun Schipol ada di bawah bandara. Berhubung ini bandara yang cukup besar, jika akan terbang dari sini pastikan sediakan waktu yang cukup oleh karena pemeriksaan security yang cukup ketat sehingga memakan waktu. Area bandara terbagi menjadi area Schengen dan Non-Schengen. Tak ada pemeriksaan paspor untuk penerbangan ke sesama area Schengen. Ada universal praying room di area Non-Schengen dan sayangnya tempat serupa tak ada di area Schengen. Kami pun menyempatkan diri shalat di pojokan kosong ruang tunggu bandara sambil menanti pesawat Norwegian Air Shuttle yang akan menghantarkan kami Oslo yang terlambat selama 45 menit. Malam itu kami pun berpamitan dengan Amsterdam saat pesawat merah Norwegian Air Shuttle meninggalkan Schipol.

5 respons untuk ‘Empat Malam di Amsterdam

  1. Nurul berkata:

    Mas , nama stasiun bis ( bus stop ) yg deket Ibis Budget Zaandam apa ya ? kebetulan juli dpn sy akan stay di htl tsb , trus kalau beli ticket bis nya dmn & brp euro ? Thanks Nurul

  2. Mouliza Kristhopher Donna berkata:

    Hallo mas, wah menarik sekali blog nya. Kebetulan bgt saya jg Mau ke Amsterdam Dan juga nginep di ibis zaandam krna emg kebetulan Ada acara di zaandam.
    Saya Mau Tanya dong dari ams central ke dkt ibis zaandam itu turun nya di halte apa ya?
    Trs which is better regional ticket atau ov chipkaart krna saya blm ngeh sama beda nya 2 smart card itu nih. Thank u

    • lamida berkata:

      Nama bus stopnya saya lupa. Tapi bisa dilihat pakai google maps. Kalau beberapa hari di Amsterdam kayaknya lebih enak pakai ov chipkaart.

      • Mouliza Kristhopher Donna berkata:

        Thx u mas info nya. Nanya lg nih.
        Saya disana cm sebentar si 4 hari-an itu pun Yg 1 hari full untuk kerjaan.
        Niatnya Ada 1 hari itu untuk ke zaanse schans sama volendam, klo berangkat nya dri ibis itu brarti brarti regional day ticket nya bisa di pake sampe balik lg ke ibis ga? Cara pake nya sama tinggal tap in/out aja kan

Tinggalkan komentar